Aku memilih untuk duduk sambil memainkan ponsel milikku, sementara menunggu Jimin kembali. Ia baru saja mengirimkan sebuah pesan jika dia pergi untuk membeli sesuatu.
Sangat nyaman disini, aku merasa betah berlama-lama tanpa harus merasa dikejar waktu yang semakin larut.
Hingga dimenit kesepuluh, mataku menangkap eksistensi Jimin, pria itu melangkah santai dengan kedua tangan yang menggenggam sepasang permen kapas.
Aku tersenyum tipis.
Apa dia memang semanis ini?
Saat dia berhasil mencapaiku, Jimin menyodorkan permen kapas berwarna merah muda yang lansung ku sambut dengan binar antusias."Terima kasih."
Angin berhembus sedikit kuat, hingga aku bisa melihat dengan jelas setiap helai rambut Jimin berayun lembut.
"Tidak perlu berterima kasih, aku ingin memperlakukanmu sebaik yang ku bisa." Ia lantas mengambil tempat disisiku dengan tak segan menarik bahuku agar ia bisa memberikan kehangatannya."Bersandarlah padaku."
Malu? Tentu saja kurasa bahkan jantungku akan meledak. Aku tahu Jimin itu manis, tapi aku tidak pernah tahu kalau dia bisa semanis ini.
Masih dengan rasa malu.
"Kau tidak keberatan aku melakukan itu?" Tanyaku gugup.Jimin terkekeh."Aku akan senang jika kau mau melakukan itu."
Tanpa ragu aku menyandarkan kepalaku tepat dibahu Jimin, lantas mencicipi permen kapas bersama pria itu dengan suasana yang lebih bersahabat di banding hari-hari sebelumnya.
Aku terlarut dalam khayalan manis hingga aku melupakan detik yang berlalu, menyandar dengan nyaman. Menghirup udara malam bentuk dari aku yang menghargai waktu berkualitas ini.
"Mina-yah," serunya pelan tapi cukup membawa anganku kembali kedalam raga mengetuk kuat kesadaran.
"Ya?" Aku tidak punya keberanian untuk menatap Jimin, entah kenapa malam ini aku merasa aura yang menguar dari pria itu terlalu berbeda.
"Tipe pria yang kau sukai seperti apa?"
Aku meluruskan tatapan tepat pada kerlap-kerlip lampu yang besemangat menghiasi kencan sepasang kekasih.
Mataku melebar karena tidak menduga akan dikejutkan dengan dua hal dalam satu masa yang sama.
"Ke-kenapa kau bertanya?" Gugup.
"Apakah itu penting?" Kesal sambil mengeratkan rahang.
"Aku hanya penasaran, karena kau terlalu abu-abu selama ini."
Jimin menghela napas pelan, ia tidak lupa merangkul pundakku mesra."Tentu saja itu penting, karena aku ingin menjadi pria seperti itu, aku juga ingin membuatmu merasa nyaman bersamaku, bahkan jauh lebih nyaman dibanding bersama Jun."Aku memejam mata seketika mendengar nama Jun yang Jimin ingin perbincangkan---sangat tepat waktu.
"Aku sedang tidak ingin membahas tentang pria itu Jim."
"Kenapa?"
"Aku sudah memutuskan untuk melupakan pria itu, jadi jangan memancing keinginanku, jika kau tidak mahu melihat aku mendatangi pasangan dihadapan sana lalu memisahkan mereka dengan cara yang paling gila," balasku dalam getar emosi.
Bahkan dalam jarak yang terbilang jauh aku masih bisa mendengar suara tawa Jun, dia terlihat sangat bahagia dan menikmati waktu kencannya.
"Maksudmu?" Seolah terundang atensi Jimin mengikuti arah tatapanku hingga dia bisa melihat romantisme yang dicentuskan pasangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Trace (END)
Fanfiction(COMPLETED) Special for jimin birtday. Apa jadinya jika dua orang dengan sikap yang saling bertolak belakang di satukan? Haruskah itu di anggap keberuntungan? Atau malah sebuah kutukan? "Mau mencoba melakukan sesuatu?" Jimin berucap tenang seper...