Hal tersulit untuk ku lakukan adalah mengendalikan emosi yang membumbung tinggi.
Aku bisa menghancurkan apapun dengan meluapkan amarah tanpa memandang dengan siapa aku sedang dihadapkan.Sepasang mata meremehkanku, senyum sinisnya cukup membuat hatiku terasa tersayat mengakibatkan luka yang sudah lama mengering kini berdarah kembali.
"Apa yang kau inginkan?"
Wanita paruh baya itu dengan santai meletakkan tangan kotornya diatas bahuku."Jangan kasar Mina-yah ibu berkunjung karena merindukanmu." Sekali lagi aku terlalu muak melihat wajah keriputan miliknya, dia tidak sadar ya? Tubuhnya sudah beraroma tanah tapi masih suka mencari masalah denganku.
Aku menyingkirkan tangan sialan itu dengan kasar."Sudah ku peringati sebelumnya, jangan bertingkah seolah kau ibuku. Kau membuat mataku sakit, silahkan keluar nyonya Jung terhormat!" Telunjukku arahkan tepat pada pintu rumah yang terbuka luas.
Wanita itu malah terkekeh halus jelas memprovokasi dengan gaya anggunnya.
"Baru empat bulan menjadi istri dari pengusaha sukses, kau sudah seangkuh ini? Harusnya kau berterima kasih padaku, jika bukan aku yang menjodohkan kalian, gadis sepertimu tidak mungkin bisa hidup senang menghambur-hamburkan uang."
Amarahku sudah mendidih, pun letupan-letupan emosi seolah bergantian menusuk jantung dan hati.
Dengan santai ia mendudukkan bokongnya diatas sofa, lantas menyilangkan kaki menebar aura kejahatan memenuhi ruang tengah.
"Apa kau tidak punya sesuatu untuk diminum?" ucapnya sambil meliarkan pandangan.
"Jika itu untukmu, aku hanya punya racun," balasku datar.
Aku bisa melihat rahang wanita itu mengerat disusuli dengusan kekesalan. Aku tidak peduli, itu kesalahannya dan dia memang sedang sial menyapa disaat aku sedang sakit bulanan. Emosiku sedang tidak stabil. Bukan cuma dia, bahkan Jimin sudah ku marahi habis-habisan, hingga pria itu lelah lantas memutuskan keluar mencari udara segar sore ini.
"Dasar anak tidak tahu diuntung! kau tumbuh persis seperti Kyu Hyerin sama-sama kurang ajar dan gila!"
Dan kali ini, aku tidak bisa menahan apapun. Berdiri tegak lalu menikam netra wanita tua itu.
"Siapa yang memberimu izin menyebut nama ibuku dengan mulut kotormu jalang tua?!" Bentakku tak tertahankan.
Berengsek.
Tanpa sempat menghindar sebuah tamparanpun mengenai pipiku mengudarakan suara pukulan disusuli rasa pijar yang merambat dengan cepat. Aku yakin bekas telapak tangan wanita sialan itu tercetak rapi dikulitku."Maaf, ibu khilaf. Tangan ibu tergelincir" tuturnya tanpa merasa bersalah
Dadaku seakan dihimpit, cukup sesak. Wanita ini lancang sekali, bahkan ayahku tidak pernah memukulku meskipun aku sering berkata kasar padanya.
"Keluar!" usirku dengan seruan keras sambil satu tangan memegang pipi kiri.
Ia tersenyum sinis." Tidak usah repot-repot meninggikan suara Mina-yah aku memang ingin keluar dari sini." Langkah kaki bersepatu hak merah itu berhenti sejenak disisiku."Aku hampir lupa mengatakan ini, ayahmu sedang berada dirumah sakit. Dia yang memintaku untuk menemuimu."
Aku stagnan seketika mendengar pertuturan wanita itu.
Ayah sakit? Bohong jika aku tidak peduli, sebesar apapun aku membenci sosok itu aku masih memiliki sekelumit rasa peduli padanya
****
Aku baru saja ingin keluar setelah mengambil tas didalam kamar untuk segera menuju kerumah sakit, tetapi aku tidak menduga Jimin kembali diwaktu yang tidak tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Trace (END)
Fanfiction(COMPLETED) Special for jimin birtday. Apa jadinya jika dua orang dengan sikap yang saling bertolak belakang di satukan? Haruskah itu di anggap keberuntungan? Atau malah sebuah kutukan? "Mau mencoba melakukan sesuatu?" Jimin berucap tenang seper...