6 : Save

2.9K 295 0
                                    

Pening menyiksaku dalam kebingungan. Mengerjabkan mata beberapa kali untuk menarik kesadaran penuh lalu menelisik situasi sekeliling.

Aku dihadapkan dengan
seorang gadis sombong dan sosok yang ku rindui juga berada disini menyaksikan semua kebodohan yang ku lakukan. Aku malu sekarang. Menunduk dan menerima semua penghakiman, membiarkan gadis itu leluasa melampiaskan emosi.

Duniaku kacau.

"Beraninya kau!" Gadis itu mengintimidasiku kembali mendekat dengan aura membunuh yang membuat kakiku refleks melangkah mundur hingga punggungku tak sengaja menabrak dada seseorang.

Aku menelan ludah susah payah, bahkan kakiku terasa lemas. Namun tangan seseorang menahan tubuhku yang hampir merosot. Dia berbisik."Jaga martabatmu." Karena ucapannya aku berusaha menguatkan diri.

"Cukup!" Teriak peribadi yang menjadi sandaranku saat ini.
"Park Mina apa yang kau lakukan disini? Dan siapa gadis mengerikan ini?" Aku mengiring lalu melihat keatas untuk memastikan dugaanku benar.

Untuk seketika aku kembali mengutuk takdirku, kenapa semuanya malah berkumpul disini? Tepat saat aku menemukan Jun, Jimin malah menjadi penghalang yang kukuh untuk aku tidak mendekati pria itu.

"Jimin," panggiku samar.

"Hey! Kau mengenali gadis ini? Aaa aku tidak percaya, apa kau berusaha menjadi pahlawannya?" Sewot si gadis masih di selimuti amarah.

Aku menoleh kehadapan.
Dapat ku rasakan kini satu tangan Jimin meremas gemas lengan kiriku.

Mungkinkah dia juga marah?

"Yakh sayang, apa ini? Kau berkelahi dengan anak kecil?" Jimin berucap santai dengan wajah angkuh yang sialnya membuat dia terlihat tampan.

"Aku tidak bermaksud membuat keributan, dia yang mulai duluan." Kini telunjukku arahkan tepat didepan wajah gadis tersebut.

Pria itu tersenyum tipis.
"Aku bisa melihat betapa kau marah saat ini, tapi sudahlah sayang lebih baik kita pergi ke toko yang lain barang-barang disini ..., " Jimin membawa tatapannya pada gadis dihadapan kami." terlihat murahan," sambungnya dengan wajah tanpa dosa membidik si gadis dengan tatapan penuh intimidasi seolah mengatakan, berani melawan, ku lempar keluar dari sini.

Aku merasa puas karena gadis itu tidak berani membalas ucapan Jimin dan berakhir meninggalkan kami dengan langkah yang di hentak kasar.

Seperti biasa setelah pertunjukan selesai penonton bubar menyisakan karyawan toko yang menunduk sembari meminta maaf berkali-kali karena tidak bisa menenangkan amukan gadis tadi.

Aku mengatakan semuanya baik-baik saja mereka tidak harus menyesal, karena aku juga melakukan kesalahan meladeninya.

Aku berjalan beriringan dengan Jimin, dapat ku dengar pria itu masih mendumal tidak jelas.

Aku tau itu, amarahnya belum sepenuhnya terlampiaskan. Jimin ternyata orang seperti itu, tidak mudah melupakan rasa kesal.

Apakah aku harus menenangkan dia? Bagaimanapun Jimin sudah melakukan satu kebaikan untukku hari ini.

"Kenapa kau diam saja tadi? Jika aku tidak berada disana kau sudah habis di cabik-cabik." Aku menghela napas jengah, masih seputar kisah tadi.

"Sudahlah Jim, semua sudah selesai."

Jimin mendengus kesal.
"Jika kau berani menempatkan dirimu di posisi tadi, aku yang akan mengajarimu secara langsung," ancamnya seperti biasa.

"Aku pastikan hal semacam ini tidak akan terulang Jim." Putus asa, aku ingin menjauh dari pria ini. Aku tidak bisa mensinkronkan kata-lata dengan baik, aku takut tidak bisa mengendalikan diri dan berakhir memicu pertengkaran diantara kami.

Jimin berjalan kearah kiri yang di hadapan sana terdapat deretan toko-toko yang menjual barangan keramik. Sedang aku dengan santai mengambil langkah kearah kanan membuat kami menempuh jalan terpisah.


Mataku meliar dengan harapan bisa menemukan Jun. Aku tidak melihatnya dalam waktu yang lama, rinduku juga butuh pelampiasan sebelum semakin hari semakin memberat dan aku jatuh menangis hanya karena tidak kuat di siksa oleh bayangnya.

Untuk beberapa saat aku terus berjalan tanpa arah hingga seseorang menarik baju bagian belakangku.

Siapa lagi yang punya kebiasaan menarik baju selain Jimin.

"Mau kemana?" Aku mengeluh berat, kenapa dia terus mengikutiku, sih?

"A--itu ingin mencari makan. Aku belum makan dari tadi." Kebohongan yang sempurna, cukup membuat Jimin melepas pegangan. Namun tidak lama ia malah memindai tangannya pada tanganku--- kami sedang bergandengan bukan? Dan dengan seenaknya Jimin menarikku dalam kebingungan yang nyata.

"Kita mau kemana? Yakh aku mau jalan sendiri." Protes Mina jangan mau jadi pembantunya ini hari minggu.

****

Entah bagaimana sisa waktu yang berharga milikku malah berakhir bersama Jimin yang terus mengawasi saat aku memilih barang belanjaan.

Jimin, dengan penampilan rapinya tubuh atletisnya mengekoriku kemana-mana dia bahkan tidak sadar kalau dia sekarang menjadi pusat perhatian, dari gadis kecil. Gadis dewasa serta ibu-ibu yang meneteng paper bag melekatkan atensi mereka pada Jimin--- mengagumi dalam level yang tinggi, dan itu cukup mengganggu menenggelamkan presensiku yang teramat biasa-biasa saja.

"Jim, bisa jauh-jauh dariku?" Pintaku sesegara mungkin.

Jimin meletakkan beberapa bungkus ramen dalam troli belanjaan yang ku tolak sedari tadi."Kenapa? Aku hanya berniat membantumu." Mendadak dia menolakku kesamping dan mengambil tugasku."Cepat selesaikan ini, lalu kita pulang."

Jimin bisa berbicara lembut? Aku baru tau itu. Biasanya juga marah-marah tidak jelas memerintahkan hal aneh. Kasar padaku.

Ya, ku akui itu hari ini dia terlihat sedikit berbeda. Hanya sedikit selebihnya dia tetap Jimin yang menyebalkan terus memprotes setiap barangan dapur yang menjadi pilihanku, seolah dia tau segalanya tentang masakan. Seingatku Jimin itu cuma tau, makan.

***

Semesta melakukan tugas mereka dengan baik, menurunkan hujan di saat aku tidak meminta. Menjebak kami dalam macet yang panjang tanpa hal yang bisa di bincangkan untuk mengimbangi situasi canggung. Mataku juga susah diajak berkerja sama pandanganku terus mengabur. Aku ingin memaki alam, mereka liar ketika aku meminta damai. Mereka selalu bertindak di luar pemikiranku, dan berakhir membuat suasana hatiku ikut memburuk.

Setelah mematikan pendingin.
"Apa kau masih dingin?" Jimin bertanya seolah dia sedang mengkhawatirkan keadaanku. Mungkin terlihat jelas tubuhku yang bergetar---dingin membelenggu ku, aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi.

Aku benci kedinginan.

Sebagai jawaban aku hanya mengangguk sambil memeluk tubuh.

"Pindahlah ke jok belakang. Disana ada paper beg berisi jas yang kubeli tadi kenakan itu." Demi mendengar intruksi Jimin cukup menguntungkan. Perlahan aku membuka sabuk pengaman, melewati Jimin, untuk masuk ke jok belakang.

Benar saja, disana aku menemukan jas kantor berwarna biru muda. Aku tersenyum puas dengan begini, aku bisa bertahan 1 hingga 2 jam.

Akhirnya aku bisa mendapat posisi nyaman untuk tidur.

"Bagaimana? Kau sudah merasa hangat sekarang?"

Dengan mata terpejam.
"Lumayan."

Aku tidak bisa melihat expresi Jimin saat ini, aku hanya menebak dia merasa puas karena aku tidak membantahnya. Aku sih, pemberontak tapi jika sudah di hadapkan dengan kedinginan aku pasti memilih kehangatan di banding mencetus pertempuran.

"Jimin," panggilku dengan suara samar yang di balas oleh deheman oleh sang pemilik nama.

"Terima kasih."

Setelah aku mengucapkan terima kasih, Jimin sama sekali tidak menggubris seolah itu bukan hal penting untuk di jawab dan itu, membuat aku merasa dia tidak menghargai ucapanku.

Pada akhirnya aku memilih untuk tidur sehingga dia tidak bisa mengajakku berbicara biar dia menikmati kesepian sepanjang perjalanan pulang.

Little Trace (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang