Ketika hujan sedang bersemangat mengguyur permukaan tanah mengantarkan bau serta kelembapannya di pagi hari. Aku masih membungkus diri dalam selimut, tanpa mempedulikan seberapa kuat suara petir yang saling bersambutan, ataupun tamparan angin yang mengenai setiap dedaunan di luar sana. Aku terdiam menikmati detik-detik kesepian yang memenuhi setiap ruang. Beberapa kali aku mengangkat ponsel genggam untuk memastikan, apa ada sebuah pesanan ataupun panggilan yang terlepas dari Jimin. Aku melakukan itu lebih dari 10 kali karena merasa sedikit khawatir.
5 menit kemudian, aku bangkit bersandar di kepala ranjang sembari mendengus kesal.
"Kemana pria itu?! Beraninya dia tidak pulang semalaman, dasar berengsek!" ucapku, seakan badai sedang menari-nari di tengah pikiran terburukku. Melenyapkan suasana pagi yang selalunya damai.Wanita. Gadis. Atau Jalang.
Kali ini, entah siapa lagi yang Jimin kunjungi. Aku tidak bisa mengusir setiap prasangka yang bersarang dalam benakku. Meskipun dia C.E.O tersibuk sekorea, Jimin yang ku kenal lebih senang menghabiskan sisa pekerjaannya dirumah ketimbang di kantor, tapi kali ini aku bahkan tidak tahu dimana pria itu terlelap hingga lupa pulang.
Aku mengerucutkan bibir. Mengacak rambut frustasi sambil mendumal tentang Jimin.
Seketika mataku melebar menyadari satu hal. Aku menghalau semua pikiran itu pergi dengan sebuah sibakan selimut lantas berlari keluar mencari buntalan berbulu.
Aku baru sadar, aku tidak sendiri lagi aku punya keluarga baru yang lebih pantas ku rawat penuh sayang dibanding mengkhawatirkan Jimin.Aku berjalan lebih cepat saat atensiku mendapati tempat tidur yang ku persiapkan untuk J kosong.
"Little J!" Panggilku sambil membungkuk menyisir setiap celah yang memungkinkan mahluk menggemaskan itu bersembunyi. Memutari setiap ruangan dalam balutan piyama biru muda beserta rambut berantakan. Cukup membuat aku merasa seperti ibu-ibu kehilangan anaknya.
Seketika langkahku terhenti bertepatan dengan pandanganku yang memeta langkah kecil dari sepasang kaki berbulu bersih muncul dari perbatasan tembok yang memisahkan ruang tengah dengan dapur. Itu J, dia segera mendapatkan kakiku lalu mengusap tubuhnya disana.
"Eoh! Kau ini membuatku khawatir." Aku menunduk lalu menggendong buntalan berbulu itu yang mengeluarkan suara khasnya. Dia mulai mengenaliku dengan baik. Aku bangga padanya dia mudah beradaptasi dengan lingkungan barunya.Aku memutuskan untuk mengurusi J terlebih dulu, memberinya makan lantas memandikannya bermain sebentar dengannya. Sebelum aku membersihkan diri, dan memulai aktifitas seperti biasa.
****
Aku menyorot horor ruang tengah yang berantakan dengan sesosok tubuh berbungkus kemeja putih tulang beserta celana hitam terbaring diatas sofa. Mata yang biasa menyorotku dengan jahil terpejam menyembunyikan manik berkilap penuh pesona miliknya. Dengkuran halus jelas mengambangi rungu menandakan sosok kelelahan itu sedang berlayar kealam mimpi.
Aku harus jujur tentang ini.
Meskipun, Jimin itu menyebalkan tetapi dia juga tipe pria pekerja keras. Sangat jarang bisa melihatnya bersantai.
Aku mendekati pria itu, sesaat setelah aku berada tepat diujung sofa, aku lantas memasrahkan kedua lutut menampung bobot tubuh. Perlahan tangan ku julurkan meraih kaki kanan Jimin, yang entah kenapa masih berbalut kaos kaki, padahal kaki kirinya sudah terekspos sepenuhnya.
Aku menggeleng lemah.
"Buka kaos kaki kok, cuma sebelah. Bagaimana ceritanya?"
Mungkin setelah melepas sebelah pria itu langsung tepar tak sadarkan diri.Ada-ada saja.
Tak lama pandanganku beralih, memeta pahatan sempurna milik pria itu, kelelahan jelas tercetak disana membuat aku merasa simpati lantas melupakan seberapa kesal diriku yang tadi. Dan entah kenapa mendadak aku malah merasa sesak saat menatap Jimin yang seperti ini membuat aku mengingat, aku juga pernah mengamati wajah lelah ayahku di masa lalu dengan perasaan yang sama. Momen itu sudah terlalu lama, aku bahkan hampir melupakan setiap perlakuan baik pria paruh baya itu setelah dia memilih mengkhianati ibu.
Aku terlalu lemah saat itu. Bahkan keberadaanku selaku putri mereka nyatanya tidak bisa mengikat jiwa juga hati mereka dalam keharmonisan rumah tangga.
Perceraian, itu cukup menyakitkan dan aku adalah korban nyatanya. Diusia yang masih belia, aku melihat kedua orangtuaku bertengkar hebat dan berakhir menyaksikan ayah memaksa ibu menandatangani surat perceraian dengan sosok wanita yang kini menjadi ibu tiriku berdiri angkuh lantas melontarkan pandangan sinis pada kami berdua. Aku ingat dengan jelas bagaimana ayah membentak ibu lantas mengatakan, jika dia tidak sanggup lagi berpura-pura bahagia bersama ibu, wanita pilihan orang tuanya yang jelas dia tidak cintai sejak awal.
Setelah mereka berpisah, aku memilih mengikuti ibu. Kami hidup berdua dengan bahagia, tidak ada ayah yang menyakiti ibu. Akan tetapi, mungkin memang aku yang tidak beruntung setelah aku lulus SMA, ibu meninggal dunia.
Kerena itu, meskipun aku sadar akan statusku aku tidak berani meletakkan hatiku pada Jimin. Aku takut, takut andai satu saat dia juga melakukan hal yang sama. Tak bisa dipungkiri pernikahan kami juga dimulai dengan sebuah perjodohan klasik dan konyol.
Gambaran tentang masa lalu terus berputar di benakku dan saling berkaitan seolah tidak memberiku celah untuk bernapas lega. Tanpa sadar aku menjatuhkan kepala disamping bahu Jimin, menekan setiap emosi yang membuncah.
"Aku harus bagaimana Jim?" Lirihku. Perasaanku bercampur aduk di satu sisi, aku ingin memulainya bersama Jimin. Namun disisi yang lain hatiku penuh dengan keraguan.5 menit berselang, mataku terpejam sejenak merasakan sapuan penuh kelembutan disisi kepalaku.
"Ada apa?"Tanya Jimin dengan suara khas baru bangun tidur."Tidak ada apa-apa," bohongku sambil berkedip tak percaya, aku memaku disampingnya."Apa aku mengganggumu?"
"Kau tidak mengganggu," jelasnya.
Sapuan dikepalaku melambat seiring terurai sebuah kata.
"Maaf."
Aku mengerutkan kening.
"Maaf?"Jimin berdehem seraya bangkit untuk melihatku lebih jelas. Sedetik kemudian, dia duduk diatas sofa sambil menundukkan wajah untuk bertatapan denganku. Ia menyarangkan tangan lebarnya dikedua pipiku. Hangat. "Maaf karena meninggalkanmu semalaman tanpa memberi kabar," ungkapnya seraya tersenyum samar.
"Oh, karena itu. Tidak usah khawatir aku baik-baik saja sekarang aku punya teman dirumah ini," balasku sambil cengengesan mengingat buntalan berbulu.
Dapat ku lihat pria itu mengerutkan kening sambil menurunkan kedua tangannya.
"Maksudmu?" Entah kenapa wajah Jimin mendadak memerah."Kau, kau tid---""Aku tidak membawa pria lain masuk kerumahmu Jim," potongku cepat sebelum dia meledak karena berpikir yang tidak-tidak. Aku tahu itu, Jimin orangnya cemburuan.
Jimin menghela napas lega.
"Lalu teman yang mana kau maksudkan?"Aku memanggil buntalan berbulu, dalam sekejap iapun muncul sambil berlarian kecil kearahku.
Mata Jimin terbuka lebar.
"Perkenalkan namanya J!" Seruku riang sambil mengedepankan buntalan menggemaskan itu dihadapan Jimin.
"Apa dia anjing jantan?" Tanya Pria itu hati-hati masih dengan expresi kagetnya.
Aku berdecak kesal."Haruskah itu juga jadi pertimbangan?"
"Tentu, aku tidak suka punya saingan dirumah ini. Apa lagi dia," Telunjuk Jimin tepat didepan wajah anjing kecilku."dia lebih menggemaskan dibanding aku. Aku tidak mau dia menyita semua perhatianmu."
Butuh waktu 2 detik, untuk otakku mencerna ucapan pria itu. Setelahnya, aku cuma bisa terkekeh geli.
"Kau ini, dia memang jantan tapi aku janji akan adil merawat dan menyayangi kalian berdua," ucapku santai membuat pria dihadapanku kini mengukir senyum cerah hingga kedua matanya mengecil."Benarkah? Kalau begitu," Jimin mengambil anjing kecilku lantas memeluknya sayang."aku akan menerimamu J, tapi ingat kau jangan berlebihan. Park Mina hanya milikku."
Ucapan Jimin sukses membuat aku merotasi bola mata.
Ternyata dia juga punya sikap posesif, itu artinya aku menemukan lawan yang tepat. Aku juga posesif, dan rasa posesifku bisa lebih mengerikan dibanding Jimin. Jika aku mempamerkan semuanya akankah Jimin senang? Atau malah bosan dan memilih untuk berakhir seperti Jun?
Semoga tidak. Harapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Trace (END)
Fanfic(COMPLETED) Special for jimin birtday. Apa jadinya jika dua orang dengan sikap yang saling bertolak belakang di satukan? Haruskah itu di anggap keberuntungan? Atau malah sebuah kutukan? "Mau mencoba melakukan sesuatu?" Jimin berucap tenang seper...