3 : Different

3.2K 312 2
                                        

Bagaikan daun kering tertiup angin, melayang tanpa arah.
Seperti itulah diriku menanti bahagia tanpa sebuah kepastian.
Menanti hati kosong ini kembali terisi, oleh rasa yang sering ku rindukan.

Aku pikir, aku cukup kuat untuk menghadapi keluarga Jimin, tanpa ku duga dalam sekejap mereka mengalahkanku, bukan dengan kekerasan atau pemaksaan. Mereka meleburkan niatku dengan suasana. Tentu saja suasana kekeluargaan yang sesungguhnya baru saja menyelimutiku, membuat aku bungkam sekaligus serakah ingin terus merasakan kasih sayang mereka.

Disini, di kediaman keluarga Park. Aku merasa punya Ayah yang baik dan tidak meninggikan suara ketika aku melakukan kesalahan seperti tadi tak sengaja memecahkan koleksi barang keramik miliknya.

Disini, tidak ada ibu yang merampas kebahagiaan orang lain. Disini hanya ada ibunya Jimin, wanita lembut juga penuh tatapan sendu, setiap kali wanita itu menatapku aku merasa di hujani kasih yang nyata.

Juga disini. Aku menemukan pelukan hangat yang berhasil membuat ku nyaman. Pelukan dari seorang nenek yang mengusap punggungku sambil berkata dengan tulus kalau Jimin baru saja menemukan orang yang tepat untuk di jadikan pendamping hidup.

Aku, serakah dan ingin memiliki semua perhatian yang diberikan keluarga Park. Satu-satunya yang tidak ku inginkan tentu saja itu putra mereka. Aku tidak tau, dalam waktu yang singkat ini beberapa hal yang bisa ku simpulkan dari sikap Jimin, dia tidak menganggap ku lebih dari pengganggu yang terpaksa dia tanggung seumur hidup.

    "Bagaimana? Kau senang berkunjung kerumahku?" Teguran Jimin membawaku pada kenyataan.

     "Hm." Aku hanya bergumam tidak jelas.

  "Sudah ku katakan sebelumnya, usahamu hanya sia-sia. Aku tau sekuat apapun niatmu untuk melepaskan diri, pada akhirnya kau akan menyerah demi melihat orang-orang itu bahagia."

     Dan disinilah aku terjebak."Apa kau serius dengan kata-katamu semalam?" Aku melirik Jimin di sisi kananku, penampilannya cukup santai.

  "Kenapa? Kau berharap aku melupakan pertaruhan kita? Secepat itu kau menghindar setelah membuat keributan denganku?"

  Aku menghembuskan napas pasrah. Tentu saja, aku bukan tipe orang yang tidak bisa menerima kekalahan. Tapi, jadi pembantu Jimin, aku tidak bisa membayangkan apa saja yang akan ku lakukan dengan sebutan berkerja untuk Park Jimin.

  "Bu-bukan itu maksudku."

   "Lantas? Apa maksudmu?" Tanya Jimin kembali.

Aku mulai berjalan lagi diikuti Jimin melakukan hal yang sama.

  "Kau ...," Mata ku meliar menelisik sekeliling sebelum menyempurnakan kalimatku dengan terbata-bata." tidak akan memintaku melakukan hal-hal yang aneh bukan?"

Jimin tertawa di balik punggungku.

 "Hal aneh seperti apa? Memeluk? Mencium? Atau ada yang lain?" Balasnya santai.

Pria ini benar-benar berengsek, dia berkata begitu jelas saat aku tidak mau menjelaskan hal-hal yang berbau sensitif. Itu cukup menguak rasa malu yang perlahan menjalar kepipi.

     "Ya, seperti itu. Aku cuma pembantumu, biar ku jelaskan. Kontak fisik sama sekali tidak di perbolehkan saat kau jadi majikanku." Terpaksa, jika tidak Jimin akan berbuat seenaknya.

   "Huh! Kenapa kau jadi gadis pelit akan perhatian? Apa melayaniku itu sulit sekali untuk kau lakukan?" Aku menyadari ini nada bicara Jimin mulai berubah.

Aku tertawa sinis
"Melayani dengan cara yang kau sukai itu memang sulit. Terlebih, itu bukan tugas pembantu, itu tugas pacar murahanmu."
 
   "Yakh!" Jimin menarik bagian belakang bajuku, membuat langkahku berhenti total.
 
        "Ya? Apa aku salah?"

"Ya, kau benar-benar salah menilaiku. Tidak bisakah kau melihat sedikit saja kebaikanku Mina-Yah?"

Mendadak aku merasa geli, dia pasti bercanda. Perlahan aku menyingkirkan tangan Jimin yang meremas kuat, bisa-bisa bajuku robek.

Aku memutar tubuh menatap Jimin cukup dalam
"Haha ... Memang kau pernah melakukan kebaikan? Ehmm. Ku rasa, tidak." Pria itu membeku dihadapanku, gambarannya seperti orang bodoh yang habis terstrum listrik.

  ****

Hari pertama menjadi pembantu Jimin aku merasa siksaan yang dia berikan bukan main-main.

Jujur saja, kami belum banyak berinteraksi selama usia pernikahan kami dan itu cukup membuat kami jauh dan canggung, lebih tepatnya tidak peduli antara satu sama lain.
Ketika pagi, Jimin sering mempersiapkan dirinya sendiri, bahkan untuk sarapan dia lebih senang sarapan di kantor, begitupun untuk makan malam dia hanya pulang ketika dia sudah kenyang. Jimin yang dulu, meskipun sama memuakkan dia tidak pernah mengusikku sama sekali. Dan aku cukup menyesal untuk tindakanku yang gegabah yang akhirnya menyeretku dalam sebuah penyiksaan tanpa akhir.

Kini, aku merasa menjadi pembantu sungguhan.

Aku bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan keperluan  Jimin. Misalnya membuat sarapan seperti pesanannya tanpa bisa membantah karena malas, semua yang Jimin perintahkan harus siap seperti yang semestinya.

Jika tidak, dia akan---menghukumku dengan hal-hal aneh. Asal tau saja, yang di sebut aneh itu jika Jimin yang meminta itu benar anehnya keterlaluan.

Terkadang, aku disuruh memijat pelipisnya hingga dia tertidur otomatis, Jimin membuat aku menyentuhnya. Padahal sudah ku peringati sebelumnya jika aku tidak menghendaki sentuhan fisik. Di saat aku menolak melakukan itu, Jimin akan meminta hal yang lain dan itu bukan hal aneh lagi, melainkan menciumnya. Aku tentu saja lebih rela memilih hal aneh daripada hal mesum, pasrah melakukan tugasku.

    "Mina-yah? Apa kau baik-baik saja?" Chan melambai tangan dihadapan wajahku.

Chan adalah teman kuliahku dulu. Meskipun kami sudah selesai kuliah kami tetap dekat mungkin aku harus bersyukur karena masih memiliki pria ini.

Aku tersenyum.
     "Ya, tentu saja aku baik."

  "Wajahmu tidak menunjukkan kalau kau baik, kau pucat sekali." Chan sering memberiku perhatian, bahkan saat ini dia mengelus pipiku.
     "Katakan jika ada yang menyakitimu, aku pasti akan membantu mu membalasnya."

  "Wah, kau terdengar seperti pahlawan Chanie--ku." Aku memegang tangannya yang berada di pipiku sambil menyembunyikan bola mata yang bergetar karena jujur saja aku tidak pernah merasa hatiku kembali utuh.
       "Aku, sungguh baik-baik saja. Aku pucat? Hm. Mungkin karena cuaca dingin sekali akhir-akhir ini, kau tau sendiri aku tidak cocok dengan kedinginan."

Chan kelihatannya sangat mengkhawatirkan ku, dan itu membuat aku merasa bersalah.

   "Apa kau ingin aku temani ke rumah sakit?"

Aku tertawa senang, menurunkan tangan Chan meletakkannya diatas meja.
    "Jangan terlalu perhatian Chan, nanti aku salah paham."

Pria itu juga ikut tertawa.
     "Kalau kau mau salah paham, aku tidak keberatan. Memberimu perhatian itu tidak sulit untukku lakukan."

Chan membidikku dengan manik cerahnya, aku senang menatap matanya disana sering terpancar ketulusan yang sangat jarang orang berikan padaku.

  
Tentu saja, aku tidak bisa salah paham akan semua perhatiannya hubungan kami berdua benar adanya hanya sebatas pertemanan sejati.

Little Trace (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang