Aku duduk sambil menyeruput ramen dengan tubuh bergetar merasa sensasi hangat yang memenuhi mulut dan tentu saja sangat nikmat. Mengerjapkan mata sambil melontarkan sorakan kecil, aku menggambarkan seberapa aku menyukai makanan itu dengan seluruh tubuh. Ini adalah tempat yang sudah menjadi langgananku sedari dulu, aku datang saat selera makanku buruk dan disinilah selera itu bisa bangkit semula."Ahjumma! Bisakah aku mendapatkan teh hangat juga?" Tanyaku pada pemilik toko sederhana ini.
Wanita yang tadinya sedang membereskan meja di sebelahku menoleh." Tentu saja nona."
Aku tersenyum." Terima kasih."
Setelah menghabiskan semangkuk ramen pertunjukan makanku selesai dengan meminum teh, cukup hangat dan manis. Semuanya terasa cocok karena saat ini cuaca dingin.
"Bagaimana nona? Apa kau sudah merasa jauh lebih baik?" Pemilik toko sudah sangat mengenaliku, dia tau aku memiliki putaran selera yang kadang memburuk, hingga aku bertahan tidak makan dalam waktu tiga hari.
"Ya Ahjumma, aku merasa jauh lebih baik sekarang. Aku penuh dengan energi ramen lezatmu."
"Baguslah. Kau terlihat cukup kuat sekarang berbeda dari tadi yang lemas."
Aku tersenyum singkat. Mengusap bibir dengan tisu.
"Sekali lagi terima kasih atas masakanmu yang selalu bisa menghidupkanku."
Aku terkekeh begitupun Ahjumma. Aku membayar tagihan dan setelah itu aku izin pulang mengingat saat ini sudah jam sembilan malam terlalu berbahaya untuk seorang gadis berkeliaran.
****
Aku memasukkan kedua tangan didalam kantong jaket. Angin berhembus cukup kuat, jalanan juga semakin lenggang.
Mendadak aku malah mengingat Jimin, momen di mana pria itu memberikan jasnya berputar di kepalaku. Hubungan kami berantakan setelah pertengkaran hebat itu. Sikap cuek Jimin kembali, dia tidak menggangguku atau menatapku bahkan kami tidak pernah terlihat dalam satu ruangan yang sama, benar-benar gambaran orang asing yang sempurna.
Aku menunggu waktu untuk menyebrangi jalan. Mataku meliar menelisik keadaan sekitar, sunyi. Seolah sudah lewat jam tengah malam tidak riuh seperti hari-hari biasa saat aku melewati jalanan ini untuk pergi ke pasar swalayan membeli barang keperluan. 5 detik kemudian, karena sibuk menelisik tak sengaja pandanganku jatuh pada bahu lebar yang berbalut jaket hitam sama sepertiku, sontak dadaku sesak mengingat jaket yang ku kenakan hanya ada dua di korea. Satu yang ku kenakan saat ini, satu lagi ku berikan pada Jun, yang artinya pria bertopi di seberang jalan sana, adalah Jun.
Jantungku hampir meledak menyadari eksistensinya.Begitu aku punya kesempatan aku segera berlari melintasi jalanan tanpa menoleh kiri dan kanan, fokusku hanya pada punggung Jun yang semakin mengecil. Aku harus berhadapan dengannya kali ini, apapun yang terjadi. Dia membuatku kalut sering muncul disaat aku tidak bisa menyentuhnya, dan menghilang tanpa aku sempat bertanya bagaimana kabarnya.
Aku berakhir didalam lorong kecil yang gelap. Sialnya rintis kecil mulai berjatuhan seolah memahami kejolak hatiku.
"Jun! Itu kau kan?!" Teriakku kencang. Aku terlalu ingin melihatnya."Jun aku ingin bicara, temui aku sekarang." Mataku meliar kekiri dan kanan berharap bisa menemukan Jun.
Aku hampir putus asa, saat hujan mengguyurku lebih deras lagi.
Dia benar-benar seperti hantu yang muncul sekilas mencari atensiku dan memutus sesukanya.Ahn Jungwoo.
Aku sangat merindui pemilik nama ini. Aku jatuh padanya terlalu dalam, meskipun status kami sudahpun bergelar mantan. Tapi detak jantungku tidak bisa berbohong meskipun hanya sekedar bayangnya itu mampu membuat pikiranku berantakan ingin segera mendekapnya.
Aku ingin dia, menatapku dengan jelaga hitamnya yang penuh pesona. Mengurungku dalam pengawasan penuh perhatian. Atau sekadar mengucapkan kata-kata yang mampu membuat aku tenang. Aku merindukannya, berat melepasnya begitu saja hatiku benar tertawan dan aku tidak masalah menjadi orang bodoh karena mencintai sosoknya yang kejam.Pipiku basah, rasa asin yang jatuh kebibirku tersamarkan sekali lagi. Punggungku bergetar, putus asa aku berbalik ingin menjauh dari lorong gelap yang mengelilingiku dalam kesakitan.
"Aku membencimu Jungwoo-Yah!"
Perlahan aku melangkah lemas, hampir sampai di penghujung jalan. Aku di kagetkan oleh sepasang tangan yang menarikku untuk berteduh.
****
Tubuhku kaku, rinduku lebur dalam sekejab tergantikan dengan rasa senang yang tiada tara. Jun berdiri dihadapanku dengan tubuh yang sama basah.
Menatapku dengan tatapan frustasi. Mengusap wajahnya kasar."Kenapa kau tidak berhenti mengejarku begitu kau punya kesempatan Hyemi?!"
Hyemi. Benar itu nama yang ia berikan padaku. Aku tersenyum lebar dia masih memanggilku seperti itu, artinya dia masih memikirkanku sama seperti aku yang memikirkannya.
"Aku- aku merindukanmu Jun," ucapku samar. Pandanganku tidak bisa lepas dari mengamati wajah Jun. Dia terlihat semakin tampan dengan rambut panjangnya yang basah. Topinya sudah dia letakkan di kepalaku saat tadi dia menarikku kesini untuk berbicara.
Ya, dia masih peduli.
"Sadarlah Hyemi, kita sudah lama berakhir. Berhentilah bertingkah seolah kita tidak putus dengan cara baik-baik lupakan perasaanmu padaku. Aku tidak bisa mencintaimu lagi," sambungnya membuat duniaku runtuh seketika. Waktu melambat juga seakan sembilu menusukku tepat dihati.
Mataku bergetar."Aku-aku mengerti kau merasa frustasi saat aku menekanmu dengan sikap posesif, tapi ku mohon Jun, beri aku kesempatan sekali lagi. Aku sudah berubah." Aku memegang tangan besarnya berusaha meyakinkan Jun.
Mataku tak lepas dari jaket yang Jun kenakan saat ini, ia pun sadar kemana arah tatapanku."Jangan salah paham. Aku mengenakan ini bukan karena memikirkanmu." Jun melepaskan genggamanku dengan paksa."Hyemi-yah mari kita jalani hidup kita dengan baik dan bahagia, maafkan aku. Bukan cintamu yang salah, aku yang tidak kuat menempatkan seluruh cintamu diatas kehidupanku."
Aku mundur dan mulai terisak, ucapannya melukaiku. Perasaanku kian retak, hancur bersama kekecewaan.
"Karena ini, aku tidak berani bertemu denganmu. Karena kau sering menangis setiap kali aku menolakmu, tapi aku bisa apa Hyemi-yah aku tidak bisa menjadi Junmu yang dulu." Pria itu mendekat lalu mengangkat wajahku. Menatapku dalam lalu mengusap airmataku yang berjatuhan dengan ibu jarinya.
"Aku tau kau gadis baik. Aku yakin, masih banyak pria yang berjuang mendapatkan perhatianmu, berhentilah menatapku," tuturnya kemudian membuat seluruh tubuhku lemas. Aku menangis sejadi-jadinya, sakit. Jun berusaha menenangkan, dan cara terakhir yang membuat aku terdiam saat Jun menarikku dalam pelukannya. Mengusap punggungku lembut lalu berbisik samar."Aku ingin kau bahagia.""Aku ingin bahagia bersamamu," balasku sedih.
Pria itu menghela napas berat lalu berucap. "Maafkan aku." Jun memelukku erat, seolah mengatakan jika ini adalah pelukan terakhir yang bisa dia berikan. Tanpa membuang kesempatan, aku membalas pelukan Jun lebih erat lagi, tanganku terletak rapi di punggung lebarnya. Menghirup aroma tubuhnya yang hampir memudar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Little Trace (END)
Fanfiction(COMPLETED) Special for jimin birtday. Apa jadinya jika dua orang dengan sikap yang saling bertolak belakang di satukan? Haruskah itu di anggap keberuntungan? Atau malah sebuah kutukan? "Mau mencoba melakukan sesuatu?" Jimin berucap tenang seper...