Jun, aku pikir dia adalah bintang malamku yang menemani mimpi indahku. Nyatanya dia hanya senjaku yang bersinar cemerlang namun untuk sementara.
Jun, ku pikir dia adalah matahariku yang selalu membuatku merekah senyum, saat dia memelukku hangat.
Nyatanya dia hanya sandaranku untuk sementara.Hatiku hancur hanya untuk kata 'sementara' tapi, aku bisa apa? Tidak ada lagi yang bisa ku lakukan karena Jun menolak untuk bersamaku.
Menyesakkan. Menyakitkan. Menyebalkan.
Aku menunduk sembari melangkah lemah masuk kedalam rumah, membiarkan titisan-titisan air berjatuhan kelantai. Dingin menjalar di seluruh tubuh mencipta getar-getaran kecil. Perasaanku sedang kacau. Aku hanya bisa menyalahkan diri sendiri, mengingat akulah pengagum yang paling menyedihkan di muka bumi. Aku yang tidak bisa terima sejak awal, jika orang yang ku cintai sudah berubah. Aku yang merugikan diriku sejak awal.
Aku membenci diriku sendiri---sangat.
Aku menghempas pintu kamar dengan kuat. Pandanganku kosong, namun aku masih memiliki sedikit kesadaran untuk membersihkan diri dan mengganti baju. Aku masuk kedalam kamar mandi, lantas mengguyur seluruh tubuh dengan air hangat.
Setelah menyelesaikan ritual.
Aku lantas keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk yang membungkus sekujur tubuh. Meraih sepasang baju tidur lengan panjang warna abu-abu, lalu mengenakannya dengan cepat.Aku kedinginan, terlalu dingin hingga terasa menembusi tulang-tulang. Menggigil didalam selimut, sembari mencoba untuk melelapkan mata. Mencoba melenyapkan gambaran kejadian tadi. Namun, gagal.
***
Hingga malam berakhir, aku tidak bisa tidur dan terus menerus meresapi kesendirian.
Ku pastikan, wajahku bengkak pagi ini dengan dua kantung mata bergantungan sebagai penyempurnanya. Kepala ku juga pusing bukan main, tubuh ku sakit secara keseluruhan.Aku mencoba untuk bangkit, setelah beberapa kali terhempas kekasur, aku akhirnya bisa berdiri perlahan meninggalkan pembaringan. Berjalan keluar sambil menahan rasa pusing menuju ruangan tempat aku menyimpan kotak obat-obatan.
Sesampainya disana, aku mengadah melihat kotak obat berada diatas lemari. Aku tidak menduga, aku menyimpannya terlalu tinggi hingga saat ini aku membutuhkan kursi untuk meraihnya. Menoleh ke kiri, disana terdapat sepasang meja dan kursi yang biasanya Jimin gunakan untuk memeriksa beberapa dokumen yang ia bawa pulang. Aku mengambil kursinya lalu meletakkan didepan lemari. Satu kaki ku naikkan, setelah itu satu lagi menyusul.
Perlahan, aku berhasil berdiri.
Tangan ku julurkan meraih kotak itu dengan mudah. Tepat saat aku ingin turun, satu kakiku malah tersandung pada yang lain.Buk!
Mau tak mau, aku jatuh di lantai dengan kotak obat yang terlepas dari tanganku. Kepalaku tambah pusing, untungnya aku jatuh dengan posisi punggung membentur lantai, bukan wajah membentur lantai. Hampir saja aku melukai hidungku.
"Sakit," keluhku samar.
Suara langkah kaki berkejaran dengan cepat terdengar, namun aku belum bisa membangunkan tubuh sialan yang lemah juga sekarat ini. Kepala ku semakin pusing, saat seseorang memergokiku."Mina-yah! Kau baik-baik saja?" Jimin mendekatiku yang masih terbaring, kini kedua tangan ku gunakan untuk menutup wajah.
Astaga aku malu!
Jimin bersimpuh disisiku. Awalnya ia hanya menyentuh bahuku mungkin karena merasa ada yang mengganjal Jimin memindahkan tangan menyentuh dahiku. Satu detik, seolah tersengat api, buru-buru Jimin menarik tangannya."Astaga badanmu panas sekali." Jimin menyingkirkan tanganku dari wajah, untuk kesekian kali dia berteriak jauh lebih kuat."Apa yang kau lakukan pada dirimu sendiri?!"Tanyanya sembari menatapku marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Trace (END)
Fiksi Penggemar(COMPLETED) Special for jimin birtday. Apa jadinya jika dua orang dengan sikap yang saling bertolak belakang di satukan? Haruskah itu di anggap keberuntungan? Atau malah sebuah kutukan? "Mau mencoba melakukan sesuatu?" Jimin berucap tenang seper...