Saat tinggal kembali ke Jakarta

61 2 0
                                    

Setiap hari, kini aku bisa slalu melihat senyum yang slalu kurindukan diwajah ibu, yang kini sedang asyik membereskan benang bekas jahitan yang terserak dilantai. Sudah dua tahun aku kembali tinggal bersama ibu diJakarta. Aku kini duduk dikelas 3 SMAN di Jakarta, letaknya cukup dekat dengan rumah kontrakan kami. Jadi aku tidak perlu naik angkot ke sekolah dan bukan masalah bagiku berjalan kaki, toh dulu juga aku suka berjalan kaki ke sekolah saat didesa. Tentu saja disini hanya beberapa menit saja waktu yang diperlukan untuk tiba disekolah, karena jaraknya tidak sejauh dulu saat akan pergi ke sekolah didesa.

Sebenarnya aku senang bisa kembali ke kota berkumpul bersama ibu lagi. Tapi entah mengapa kini aku slalu merindukan saat-saat didesa. Aku merasa bahwa walupun tinggal disana terasa sedikit membosankan tapi kini disini ditempat yang selalu aku inginkan untuk tinggal, aku kembali merasa menjadi orang asing.

Kulihat jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 13.00. Aku harus membantu ibu mengantarkan baju pesanan orang. Tapi cuaca panas terik membuatku haus, aku harus minum dulu sebelum berkeliling menggunakan sepeda mengantarkan pesanan baju.

"Pos" suara pak pos nyaring terdengar

Seiring bunyi sepeda motor berhenti didepan rumahku

Aku mengintip dari balik jendela untuk memastikan ada orang atau tidak diluar pagar rumahku.

"Ia, pak" aku setengah berlari keluar rumah dan segera menghampiri pak pos yang dari tadi berdiri didepan pagar rumahku.

"Maharani?" tanyanya

"Ia betul, saya sendiri" jawabku sambil mengambil surat dari tangan pak pos

Setelah pak pos pergi, aku tutup pintu pagar dan bergegas masuk ke dalam rumah.

Ibu sudah selesai shalat rupanya, karena dia sudah kembali melakukan aktifitasnya menjahit baju.

"Dari siapa suratnya, Ran? ibu bertanya sambil terus menjahit

"Tidak ada nama pengirimnya, bu"

" Bukan dari Endra kan" tanya ibu penasaran

"Memangnya kenapa bu, kalau dari dia"

"Kamu masih sekolah, dan hubungan jarak jauh itu sulit dijalani" kata ibu kali ini dia berhenti menjahit.

"Ia bu, tapi hubungan kami hanya saling memberi semangat nggak lebih dari itu" sanggahku

"Jodoh ditangan Allah, ibu takut kamu tidak berjodoh dengannya. Dan itu artinya ada yang akan kecewa nantinya". kata ibu sambil melanjutkan menjahitnya

"ia bu, Rani tahu"

Aku masuk ke dalam kamar karena malas berulang-ulang berdebat dengan ibu masalah hubunganku dengan Endra

Mahendra, orang yang sering mengirimi surat sejak aku kelas 2 smp hingga kini adalah lelaki pertama yang hadir dan memberi harapan-harapan indah dan semangat bagi seorang gadis yatim yang kesepian tanpa saudara sepertiku. Kebersamaan kami lebih banyak dihabiskan dalam rangkaian-rangkaian kata-kata daripada bertemu atau menghabiskan waktu bersama. Karena saat aku kelas 3 smp, dia melanjutkan SMAnya di Jogjakarta. Jadi hanya setahun aku bisa berinteraksi langsung dengannya saat didesa.

Panggilan ibu menghamburkan lamunanku. Aku ingat aku harus mengantar baju pesanan. Aku keluar kamar dan bersiap pergi dengan sepedaku.

"Hati-hati ya Ran" kata ibu sambil merapikan bungkusan baju yang harus kubawa.

"ia bu, nanti pulangnya Rani mau mampir ke toko buku sebentar ya." jawabku

"Ya sudah, tapi jangan terlalu sore pulangnya" kata ibu sambil tersenyum sambil masuk ke dalam dan melanjutkan menjahit.

Setelah pamit aku mengayuh sepedaku sambil bernyanyi dalam hatiku. Aku senang akhirnya aku bisa membeli buku yang aku inginkan setelah harus sebulan menabung. Setiap aku mengantarkan pesanan baju ibu selalu memberikan aku tambahan uang jajan. Lumayan bisa menambah koleksi bukuku dikamar. Ibu mendukung hobiku yang satu ini, alhamdulillah.

Setelah berputar-putar keliling kampung dekat rumah dan mengantar pesanan baju. Aku melihat awan mendung dilangit sore ditambah rintik-rintik gerimis mulai terasa menembus kerudung dan bajuku. Semoga aku sempat ke toko buku dulu sebelum hujan benar-benar datang, gumamku dalam hati. Tapi belum sempat aku berbelok ke arah toko buku dipinggir jalan raya, hujan sudah mulai turun. Aku batalkan membeli buku sore ini, dan bergegas pulang sebelum hujan membasahi semua kerudung dan bajuku. Selain itu aku tak mau baju pesanan pelanggan kebasahan karena masih ada 1 baju pesanan yang tersisa karena pemiliknya sedang tak ada dirumahnya tadi.

Petir masih berkidung diluar sana, saat aku berbaring ditempat tidur. Aku belum bisa tidur padahal suara mesin jahit ibu sudah tak terdengar lagi, menandakan sudah larut malam dan ibu kemungkinan sudah tidur. Aku mulai ingat ada surat yang belum kubaca. Sambil bersandar pada bantal- bantal dan boneka yang berjajar rapi ditempat tidurku, aku mulai membaca surat yang tak ada nama pengirimnya itu.

Jogjakarta, 19 agustus 2000

Teruntuk Maharaniku

Assalamualaikum,

Apa kabarmu Ran? Semoga baik-baik saja, aku juga alhamdulillah dalam keadaan baik saat ini.

Beberapa hari lagi kamu ulang tahun, kamu ingin kado apa dariku?

Maaf ya, aku tak bisa memberi bunga atau kado untuk ulang tahunmu. Tapi percayalah, aku selalu punya cinta dan sayang untukmu.

Selamat Ulang Tahun Maharaniku,

Semoga panjang umur, tambah sukses juga pintar dan kebahagiaan selalu menemanimu.

Kau tahu aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu... juga untuk kita.

Itu saja dulu suratku kali ini Ran, aku tak ingin mengganggu belajarmu atau hobi membacamu, hehehehe tapi jika kamu ada waktu luang, balaslah suratku. Aku selalu menunggu balasan suratmu.

Salam

Mahendra

NB: ini fotoku, lumayan untuk menghibur kerinduanmu padaku hehehe

Seperti dugaaanku tadi siang, surat ini pasti dari Endra. Aku tersenyum melihat beberapa lembar fotonya yang tersimpan didalam amplop suratnya. Dia memang tak pernah absen mengingat ulang tahunku, walaupun hanya seuntai kata, aku bahagia ada yang memperhatikanku selain ibuku. Jadi ulangtahunku yang ke 17 dia memberiku kado foto-fotonya. Aku simpan surat dan amplop berisi fotonya dibalik bantalku, lalu tertidur dengan perasaan penuh kehangatan dari tiap harapan yang tak pernah kutahu akhir dari pengharapan itu. Akankah tiba pelangi yang kunanti setelah hujan reda. Setelah bertahun-tahun penantian panjang ini, jiwa yang belum memahami arti sebuah penantian dalam cinta yang belum dewasa ini. Semoga waktu akan mengajarkanku untuk memahaminya nanti, ya nanti, karena sekarang aku adalah seorang gadis yang sedang bermimpi memeluk semua harapan yang pertama digenggamnya













Seindah kasih untuk RaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang