Saat pulang kampung

75 2 0
                                    

Setelah semalaman, mobil yang dikemudikan sepupuku Vino, akhirnya sampai juga di rumah nenek. Rumah peninggalan nenek nampak rapi dari luar, tapi tetap ada yang berubah tidak seperti dulu saat nenek masih hidup. Terlihat dari tak ada lagi bunga anggrek yang dulu banyak tergantung di pohon mangga dan sekitar halaman nenek. Aku memutuskan pulang juga ke desaku, setelah Vina yang ngotot ingin aku ikut menemaninya pulang kampung, selain itu akhirnya aku dapat cuti juga, meskipun hari Senin harus tetap masuk, lumayanlah bisa berlibur sejenak, melepas rindu dengan sepupuku juga sekalian menjenguk rumah yang pernah jadi rumahku dulu selama SMP.
Vina memanggilku dari mobil, dia belum sadar telah sampai ke rumah nenek, tertidur saat semakin dekat ke rumah nenek. Aku hendak membuka pintu pagar tadi sesaat sebelum Vina memanggilku, lalu aku menghampirinya sekalian membantu Vino menurunkan barang-barang kami.
Rumah dalam keadaan sepi, tapi tak terkunci. Yang membuat kami bisa langsung masuk. Tidak berapa lama bi Sari datang dengan ditangannya membawa seplastik makanan khas kampung dan seteko air hangat.

"Vina Vino udah besar kalian, bibi kangen, dulu kalian kesini waktu masih SD" ucap bi Sari sambil memukul ringan punggung Vina dan Vino.

" Ia Bi, kan bapak dinas ke luar pulau Jawa, jadi kami jarang pulang kampung" ucap Vino menjelaskan

" Ia bibi tahu, pangling aja rasanya melihat kalian sudah besar sekarang"

" Kalau sama aku nggak kangen ni, dari tadi Vina Vino terus, aku dicuekin" aku menyela pembicaraan mereka bertiga sambil tertawa

" Eh nggak atuh, Rani mah kan sering ke sini jadi nggak terlalu pangling tapi bibi tetep kangen ko" ucap bibi sambil memelukku.

"Tenang bi, nanti kami bakal rajin ke kampung ko, apalagi Rani kan pacarnya orang sini" Vina gabung bicara sambil meledekku.

" Sepertinya nggak lagi deh Vin, gosip-gosip nya sih mereka putus" Ucap bibi sambil melirikku penuh selidik

" Apaan sih ngegosip aja pagi-pagi, makan yuk lapar" ucapku sambil membuka bungkusan makanan yang dibawa Bi Sari.

" Ia ya Ran, padahal yang ngajak kesini terus itu si Vina, curiga nih dia kan juga baru putus ma pacarnya, jangan-jangan dia mau cari pacar disini" sambung Vino sambil tertawa terbahak-bahak.

Lalu kami semua tertawa mendengarnya, selanjutnya hangat perbincangan dan canda tawa kami membahana keseluruh ruangan, memberi nafas disetiap ruangan dirumah yang telah lama ditinggalkan pemiliknya, nenekku, yang kini kurasa semakin tak nyaman untuk ditinggali karena termakan usia.
Aku sedang mencuci piring didapur saat bi Sari menghampiriku, dan mengajakku bicara.

" Rani, apa benar kamu putus dengan Endra?

" Ia bi, tahu dari siapa?

" Ya tau atuh, ibunya cerita sama bibi, bibi jadi nggak enak, memangnya kenapa sih Ran? Bukannya dia sudah datang menemui ke Jakarta dan berjanji mau menikah sama kamu?

" Ia maaf bi, aku cuma nggak mau pacaran. Apa bedanya coba bi aku berhubungan sama dia jauh terus. Lagipula dia janjikan akan menikah 3 tahunan lagi. Dalam waktu itu, adakah yang bisa menjamin perasaan kita nggak berubah? Lalu buat apa hubungan pacaran ini. Mendingan kita masing -masing aja dulu dan fokus sama kegiatan untuk masa depan kita. Aku putus dari dia juga nggak mau pacaran ma siapa-siapa lagi. Kalau kita jodoh, pasti bertemu lagi. Lalu apa yang salah, dengan pemikiran aku, kecuali kemarin dia mengajakku menikah tahun ini, jika aku yang nggak mau baru aku yang salah. Ucapku panjang lebar seakan mencurahkan perasaanku saat ini pada bibi sambil terus mencuci piring dan gelas bekas makan minum tadi.

"Ia ya Ran, waktu 3 tahun itu cukup lama dan apa saja bisa terjadi dalam rentang waktu itu, kalian LDR lagi" sambung Vina keluar dari dalam kamar.
Aku hanya tersenyum melirik ke arah Vina. Bi Sari hanya mengangguk tanda mengerti maksudku dan perasaanku. Lalu kami bertiga membahas hal lain, karena tidak berapa lama datang kerabatku yang lain dan kami semua mengobrol bersama. Hanya Vino yang tidak ikut bergabung karena sedang tidur, dia lelah semalaman tidak tidur mengemudikan mobil.

Hujan cukup besar mengguyur desa malam hari, membuat Vina dan aku harus tidur berdempetan karena kedinginan, walaupun selimut tebal nenek hampir menutupi seluruh tubuh kami. Tak berapa lama, terdengar pintu diketuk beberapa kali. Membuat aku dan Vina saling berpandangan, lalu Vina tersenyum padaku, aku tahu maksudnya dia menyuruhku membuka pintu.

Aku berjalan ke arah ruang tamu, dan dari jendela ruang tamu kulihat mang Bardi suami bi Sari, sedang berdiri didepan pintu. Cepat kubuka kan pintu karena kasihan terlihat kerepotan membawa beberapa barang.

" Ini lampu patromak buat jaga-jaga ,kalau hujan besar disini biasanya mati lampu. Ucapnya sambil berusaha menyalakan patromak yang dia bawa.

Tidak berapa lama Vina keluar dari kamar menyusulku. Lalu dia menggedor kamar yang sedang ditempati kakaknya Vino sambil berteriak

"Vinooo banguuuunn, teriak nya tapi tak ada jawaban, yang membuat dia kesal lalu berlalu ke arah dapur dan mengambil segelas air minum. Aku dan mang Bardi hanya tersenyum melihat kelakuan Vina pada kakaknya.

Vina menghampiriku lalu bilang mau tidur duluan. Aku hanya mengangguk lalu ia masuk ke kamar lagi.
Aku duduk diruang tamu sambil menemani mang Bardi menyalakan patromak, dan kami terlibat dalam pembicaraan cukup singkat tapi akhirnya memberitahukanku sebuah informasi tentang Sina, Marsinah, sahabatku dulu SMP.
Menurut mang Bardi, Sina tinggal di Bandung kini, dia menikah dengan lelaki yang dijodohkan orang tuanya dan telah memiliki 3 orang anak. Aku ikut bahagia mendengarnya, semoga dia bahagia dan suatu saat aku bisa bertemu dengannya.

Aku mengunci pintu setelah mang Bardi pulang. Lalu segera menyusul Vina yang telah terlelap dan menyatu dalam kehangatan selimut tua nenek. Karena besok Sabtu pagi, aku akan joging dengan Vina dan Vino, sebelum sorenya kami akan pulang kembali ke Jakarta, agar Minggu bisa istirahat dulu, karena Senin kami semua harus bekerja kembali.
Udara pagi yang dingin menusuk kulit dan daging kami, tak menghalangi kami untuk olahraga. Aku menemani kedua sepupuku yang setelah puluhan tahun baru bisa ke rumah nenek, karena dulu mereka tinggal di pulau Kalimantan, sebelum akhirnya sekarang menetap dibandung, pamanku tidak pernah membawa mereka jika menjenguk nenek, alasannya anaknya suka mabuk jika berpergian jauh. Maka wajar saja sekarang mereka sangat ingin melihat suasana desa diluar rumah nenek saat pagi hari.
Dijalan saat mengobrol dengan kedua sepupuku, aku bertemu dengan beberapa orang yang hendak ke sawah, ada diantara mereka yang kukenal, mang Darko, dia pun masih mengenaliku lalu menyapaku.

" Rani, kapan datang?

" Kemarin mang

" Ini siapa? Menunjuk sepupuku

" Ini Vina Vino anak mang Koko adik ibu.

" Ooo ia mamang lupa, ingetnya dulu mereka masih kecil.

" Kamu masih di Jakarta, Ran?
" Ia mang, masih. Kenapa?

" Suka ketemu Cici, Sila, dan Rais nggak, mereka kan di Jakarta juga?

" Nggak mang, cuma kalau Rais aku pernah ketemu.

" Ia dia punya toko buku banyak, hebat anak itu ya" puji mang Darko

"Toko buku itu punya dia? Tanyaku sambil mengernyitkan dahi ku tanda tak percaya

" Ia Ran, istri mamang kan saudara ibunya Rais.

Aku hanya mengangguk saja lalu kami membahas cerita tentang Sina yang kata mang Darko jarang pulang ke desa walaupun begitu kehidupan nya cukup mapan sekarang. Setelah mang Darko pamit pergi kesawah, aku dan kedua sepupuku melanjutkan lagi jalan-jalan sekitar desa. Sepanjang jalan aku masih tak percaya jika Rais yang begitu santun dan sederhana penampilan, tingkah laku dan ucapannya ternyata pemilik banyak toko buku itu. Ada sesuatu yang menarik yang kuketahui tentangnya lagi, dan lagi. Membuat ku tak menghiraukan panggilan Vina yang memintaku berhenti berjalan karena dia sudah kelelahan. Dan kulihat Vino telah duduk jauh di belakangku disamping Vina yang juga terlihat lelah. Ada sesuatu yang membuatku bersemangat berjalan pagi ini dan membuatku tak menyadari kedua saudaraku telah tertinggal jauh dibelakang ku Kenyataan baru tentang seseorang yang membuatku makin kagum padanya. Bukan karena apa yang telah dia miliki, tapi karena dia mampu menyembunyikan apa yang telah dia raih. Begitu tawadu nya dia dimataku kini.

Seindah kasih untuk RaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang