Saat bertemu kembali

53 2 0
                                    

Kemarin, aku dengan gagah beraninya bertekad akan mengajak Endra bicara, niatnya mengakhiri hubungan yang seharusnya tidak pernah ada diantara kami. Namun langkahku gontai, mengetahui malam ini adalah pertemuan pertama kami dan kemungkinan bisa jadi yang terakhir kalinya setelah ratusan bulan berlalu memisahkan. Mampukah aku melawan semua rasa yang mungkin timbul saat aku mengutarakan maksudku nanti. Kenapa rasanya aku tak ingin pulang ke rumah malam ini. Bukankah dulu ini saat yang kutunggu, saat kebodohan ku mengikuti emosi yang mengalahkan kenyataan. Aku menolak Fahmi yang begitu baik hanya untuk ini kah? Hanya untuk sebuah mimpi yang kapan saja bisa membuatku terjaga. Aku pernah menyesal saat menyadari Fahmi telah terlepas dariku karena suatu pemikiran kekanak-kanakanku yang selalu berkhayal aku dan Endra punya kisah indah untuk dikenang sepanjang masa, tapi indahkah untuk nyata kurasakan? Tapi kenapa pula tiba-tiba kini akupun mulai dihinggapi rasa tak tega untuk menyatakan putus, kata yang pendek namun sulit diucapkan, setidaknya bagiku. Karena aku bukan orang yang mudah memulai dan juga mengakhiri suatu hubungan. Hal itu yang membuatku tak ingin bertemu dengannya malam ini dirumah, aku merasa belum siap untuk menyampaikan maksudku padahal tadi dikantor aku semangat sekali ingin segera pulang, lalu menyelesaikan hubungan dengan baik-baik, seperti dulu kita memulai semuanya. Aku tahu Allah sedang menguji keteguhan hatiku kini, seberapa besar cintaku padaNya. Mampukah aku meninggalkan sesuatu yang selama ini kudamba untuk menggapai keagungan cintaNya. Angin malam yang telah bercampur asap knalpot semilir berhembus diantara jendela metromini yang kutumpangi, memberi sedikit kesegaran diantara hiruk pikuk penatnya metromini dan juga kebimbangan hati yang mulai runyam.
Ada sepeda motor yang tak kukenal parkir depan rumahku. Mungkin dia sudah datang dari tadi, malam ini memang sedikit macet dijalan, jadi aku sedikit telat pulang ke rumah. Dari balik pintu kudengar ibu sedang berbicara dengan suara yang kukenal.
Aku ucapkan salam dan masuk kedalam rumah yang beberapa detik sebelumnya aku merasa seperti akan masuk ke dalam ruang sidang skripsiku dulu. Seperti yang sudah kubayangkan dia ada disana, juga ibu, semua memandangku sambil menjawab salamku tadi. Ibu memulai pembicaraan,
"udah shalat magrib belum, shalat dulu sana?
"Belum, ya udah mau shalat dulu ya, aku menatap ibu dan Endra bersamaan lalu masuk kedalam. Kulihat mereka hanya senyum sambil mengangguk. Apa mereka tahu kalau aku kikuk sekali tadi didepan mereka. Aku tak peduli anggapan mereka terhadapku, aku hanya ingin cepat shalat lalu semua rasa ini kembali tenang.
Selesai shalat aku menghampiri mereka di ruang tamu. Kudengar ibu menyuruhnya mencicipi minuman dan makanan yang ibu suguhkan untuknya. Aku duduk disamping ibu, menghadap arah Endra yang sedang duduk. Kulihat dia mulai bicara setelah selesai minum sedikit teh buatan ibu.
"Kamu biasa pulang jam segini ya?
"Sebenarnya hari ini agak telat, lumayan macet tadi ada demo depan stadion sepak bola dekat terminal" jawabku yang didalam hati ingin tertawa karena baru menyadari alam semesta seakan memahami jiwaku yang tadi sempat tak ingin pulang maka hari ini macet tak seperti biasanya.
" Besok aku jemput ya pulang kerjanya?
Sebelum aku sempat menjawab dia sudah bicara lagi
"Lusa aku pulang lagi ke Jogja soalnya, sambungnya
Apa-apaan orang yang ada didepanku ini. Semenit yang lalu dia sangat manis, ingin menjemputku. Tiba - tiba berubah menjadi menyebalkan seenaknya saja menentukan pulang seperti tak ada beban saat mengucapkannya. Kenapa aku harus marah dia akan segera pulang lagi, bukankah bagus bagi kami agar bisa melupakan semuanya. Ada apa Rani..

" boleh aja kalau mau jemput" sahutku

Ibuku beranjak dari duduknya dan pamit akan meninggalkan kami berdua, tapi sebelum ibu benar-benar berdiri dari duduknya, Endra bicara untuk menahan ibu pergi.

"ada yang mau dibicarakan, bu, sebentar jangan pergi dulu" ucap nya serius.

Ibu mengangguk dan duduk kembali, sama seperti ibu aku juga mulai penuh tanya dan merasa aneh dengannya yang penuh kejutan sejak kedatangannya.

" ada salam dari bapak ibu saya dikampung,

" maaf kalau Rani harus menunggu selama ini dan kemungkinan Rani juga harus bersabar menunggu 3 tahun an lagi sampai saya siap untuk menikah. ucapnya sambil menatap aku dan ibu bergantian

Ibu tidak menerima atau menolak semuanya diserahkan kepadaku, karena aku yang akan menjalaninya nanti,itu yang ibu katakan menjawab pertanyaannya. Lalu semua menatapku, aku paling tidak suka jika dalam keadaan terdesak seperti ini. Tentu saja aku bukan anak kecil yang akan langsung menjawab ia dan tidak untuk masalah sepenting ini. Aku butuh waktu untuk berpikir, itu yang bisa menyelamatkanku dari jawaban gila yang mungkin aku ucapkan nantinya lalu akan sesali kemudian.

"yang penting kamu dan ibu sudah tahu jika aku selama ini serius menjalani hubungan ini. ucapnya

"oia seandainya menurutmu ada yang lebih baik dariku dan aku terlalu lama memberi kepastian menikah silahkan saja terima yang lain"

Aku hanya diam, tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku alihkan dengan mengajaknya makan, namun dia menolak karena nggak enak dengan saudaranya kalau pulang kemalaman. Aku dan ibu memakluminya, akhirnya setelah azan isya dia pamit pulang, sebelumnya dia shalat dulu dikamarku. Setelah itu aku mengantar ia pulang sampai pagar. Hanya percakapan ringan menemani kami sebelum dia tak terlihat lagi terhalang rumah-rumah tetanggaku yang padat penduduknya. Kenapa semua kata-kataku yang selama ini sudah kususun dengan baik untuk mengutarakan keinginanku berpisah dengannnya , menguap hilang malam ini. Besok sajalah masih ada sehari lagi, pikirku.

Saat kumenutup pintu, ibu masih shalat isya dikamar. Aku lelah dan ingin cepat tidur. Tapi aku harus makan malam dan shalat isya dulu. Ibu keluar kamar saat aku sedang makan di kamar. Ibu menghampiriku, dan duduk di sampingku dan mulai bertanya padaku.

" Kamu mau sama dia?

"kenapa ibu tanya begitu?

"ibu hanya ingin tahu kesungguhanmu

"seharusnya ibu bertanya sanggupkah kamu menunggunya?

"karena bukan masalah mau atau tidaknya kini bu

"Rani cuma merasa dia nggak benar-benar menginginkannku bu

Ibu hanya mengangguk dan pergi meninggalkanku dikamar. Setelah makan aku ambil wudhu dan kulihat ibu sudah dikamarnya. Semenjak aku lulus kuliah, ibu tak pernah menjahit sampai malam, alhamdulillah kini ibu menjahit hanya untuk menyalurkan hobinya atau mengisi waktu luang saja.

Saat aku shalat ada panggilan tidak terjawab dari no yang tidak kukenal, sudah beberapa hari ini no itu tidak berhasil menghubungiku. Tapi aku paling malas menanggapi telepon salah sambung. Seandainya dia benar ingin menghubungi kenapa tidak mengirimiku pesan saat teleponnya tidak bisa terjawab. Aku pejamkan mataku ingin melupakan sejenak pengakuan Endra tadi, yang memintaku menunggunya lagi dan lagi.
Antara tidur dan terjaga, aku mengingat apa yang akan terjadi besok. Dia akan menjemputku, naik angkot boleh saja, tapi tidak untuk naik motor. Aku cepat ambil hp dan mengiriminya pesan, besok bertemu di rumah saja. Bagaimana bisa aku berboncengan dengannya, disaat aku akan mengakhiri semuanya, sama saja seperti menyuruhku untuk terus mengenangnya.

Seindah kasih untuk RaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang