Sebelumnya: Katrisha mengajak Kleine bergabung ke kelompok Vashkoveia, dan pemuda itu menyepakati.
—
"Frato," panggil seorang gadis cilik. "Mengapa Frato belum tidur?"
Ia bertanya sambil terus menatap lekat sosok di pojok ruangan, khawatir akan keadaannya.
Frato-nya tampak sibuk belakangan ini, seolah tengah mengalami hari terberat dalam hidupnya. Berkali-kali ia mencelupkan pena bulu ke dalam tinta, bergumam tak menentu, dan memegangi keningnya. Lingkar hitam di bawah matanya pun kian kentara.
"A-aku, sudah terbiasa seperti ini, Katrisha," jawab Frato-nya, seraya menorehkan semakin banyak tulisan di atas perkamen. "Aku biasa menulis di malam hari. S-sedangkan siangnya, aku jarang bertugas menyembuhkan."
Ia tergagap lebih karena udara dingin yang berembus dari kisi-kisi jendela, walau kain tebal telah menyelimuti dirinya.
"Menulis apa?" tanya Katrisha penasaran. Ia menjulurkan lehernya tanda ingin tahu, namun tidak beranjak dari tepi pembaringan.
"Sebuah buku," jawab Frato-nya singkat, lalu menggeser kursinya dan berpaling pada Katrisha. "Aku ingin, menulis sesuatu yang bisa menginspirasi orang lain."
Sinar di mata Katrisha meredup. "Buku, ya?" Ia jelas kecewa. "Aku tidak suka buku."
Sudut bibir Frato-nya sedikit ditarik ke atas. Sorot mata hijaunya teduh dan menenangkan. "Tapi, buku bisa lebih berguna daripada sebuah pedang, Katrisha," ia menjelaskan dengan sabar. "Le-lebih hebat dari titah seorang ratu."
"Kenapa begitu?" Alis Katrisha berkerut dalam. "Apa hebatnya buku itu? Hanya kumpulan huruf-huruf."
Asap tipis bergulung ketika Frato-nya mengembuskan udara. Ia meletakkan pena bulunya di dekat perkamen, lalu beranjak ke tepi tempat tidur. Ia duduk di samping Katrisha.
"Yang terpenting adalah, apa yang tertulis di sana. Buku seperti guru besar yang bicara, pengaruhnya kuat dan tak terbantahkan. Reina mungkin bisa memerintah, namun tidak mengubah p-pribadi kita," tambahnya lembut.
Katrisha balas bergumam, tak paham. Ia menatap lekat Frato-nya. Cahaya lilin dari lantai memperjelas wajahnya yang tirus dan lebih pucat dari biasanya. Rambut cokelatnya pun semakin menipis.
"Kamu harus mengerti yang ini, Katrisha," kata Frato-nya kemudian, terdengar agak menekankan. "Kamu tidak bisa dibiarkan begini terus. Aku akan mengajarimu membaca mulai besok. Kamu harus pintar, dan kuat."
"Aku tidak yakin." Katrisha menggeleng lemah.
Angin dari luar bertiup semakin gencar. Tanpa diminta, Frato-nya merapatkan selimut Katrisha. "Kuat untuk apa?" tanya Katrisha. "Aku tidak ingin mengangkat yang berat-berat." Pikiran Katrisha yang sederhana dibuat semakin bingung saja.
Sebaliknya, Frato-nya balas tertawa kecil. "Tentu saja maksudku bukan begitu," sanggahnya. "Kamu harus kuat untuk bisa bertahan hidup. Aku akan mengajarimu menggunakan beberapa senjata dan berkuda dalam waktu dekat."
"Senjata?" ulang Katrisha, mendadak ceria. "Horee! Aku akan bisa membasmi iblis! Aku akan melenyapkan mereka!" Ia melonjak kegirangan sampai mengangkat kedua tangannya. Cepat-cepat dibungkusnya lagi tangannya dalam selimut.
"T-tapi, hanya setelah kamu bisa membaca," Frato-nya mengingatkan.
Katrisha mengerucutkan bibir, kemudian menyilangkan tangan. "Yah, kenapa sih, selalu ada syarat?" cibirnya kesal. "Aku, 'kan, tidak suka belajar."
"Aku tidak peduli," Frato-nya juga menyilangkan tangan. "Pokoknya harus. Aku saja bisa membaca dalam waktu seminggu. A-aku yakin kamu lebih cerdas dari itu."
"Ah, terserahlah," Katrisha akhirnya mengalah. Ia pura-pura marah, dalam hati merasa sangat senang. Kalau Frato-nya yang kurus ini saja bisa mempelajari dengan cepat, maka jelas akan jauh lebih mudah bagi Katrisha.
Frato-nya menyeka hidung, kemudian berdeham. "Oh iya, ada satu lagi yang harus kamu ketahui," ia menerawang ke atas, seakan hendak mengingat sesuatu. Katrisha pun mengikuti arah pandangnya, mendapati atap kamarnya yang sedikit bocor. "Kenapa?"
Lama sekali Frato-nya tidak menjawab. Katrisha sampai harus memanggil beberapa kali dan mengguncang-guncangkan tubuhnya. Setelah beberapa saat, barulah Frato-nya berpaling. Mata hijaunya yang bercahaya berubah keruh, menatap kosong pada Katrisha, dan darah kehitaman meluncur dari hidungnya.
"Frato!" pekik Katrisha.
Air matanya seketika membuncah, tak terbendung. Jeritannya semakin menjadi-jadi saat Frato-nya tiba-tiba terjatuh. Wajahnya mencium lantai batu, menimbulkan bunyi kertakan yang memekakkan telinga. Begitu keras, hingga membuyarkan malam yang mengerikan itu.
Di waktu yang berbeda, Katrisha yang berusia delapan belas tahun terlonjak dari mimpinya. Pandangannya masih mengabur, namun ia tahu matanya sembap. Ia mengelap wajahnya pada benda dalam pelukannya. Pipinya basah oleh air mata. Dadanya kembang kempis. Mimpi buruk itu tidaklah terjadi di dunia nyata.
Frato masih hidup, Katrisha meyakinkan dirinya.
Ia lalu mengejap, mencoba memahami posisinya saat ini. Pikirannya masih kalut, dan seluruh tubuhnya serasa melemah seakan telah berkelana hingga sekian lamanya. Melalui jendela di dekatnya, Katrisha sadar hari sama sekali belum menjelang pagi. Tirai kamarnya tidak ditutup, mempertontonkan gemerlap kota Desmoa yang tak pernah lengang dari aktivitas.
Diliriknya sekilas ke ranjang persis di depannya. Aletheia tertidur pulas, menghadap tembok. Seluruh badannya dilingkupi dua lapis selimut tebal, kecuali kepalanya yang merah. Katrisha jadi teringat awal pertemuan mereka, satu setengah tahun yang lalu.
Waktu itu Aletheia betul-betul menderita. Wajahnya babak belur dan lengannya patah. Ia juga kelaparan dan berbalut jubah seadanya, di tengah salju yang ganas. Katrisha sedang pulang berburu bersama Fiode, menemukan perempuan itu hampir meregang nyawa di dekat markas lama. Untunglah sebelum terlambat, mereka mengobati dan merawatnya.
Tapi siapa yang sangka ... ternyata Aletheia sungguh orang yang berbakat. Keahliannya menggunakan tombak, dipadukan dengan seni pertarungan yang entah bagaimana bisa diperolehnya, membawa perempuan itu ke posisi tinggi dalam kelompok. Kurang dari empat bulan, ia berada satu tingkat di bawah Katrisha. Dan kini, malahan mengunggulinya dua peringkat.
Selain itu, Aletheia juga amat cerdas dan serbabisa. Ia memahami berbagai pengetahuan, mulai dari bahasa kuno Avratika yang rumit, sampai bahasa Luminoshka pun dikuasainya.
Buktinya ada di kamar ini. Rak-rak besar yang seharusnya menyimpan pakaian beralih fungsi menjadi perpustakaan kecil. Upah jasa Aletheia selalu dibelanjakan dengan buku-buku tebal.
Akan tetapi tiada satu pun yang berkaitan dengan bangsa Ervei. Sifat kolot itulah yang menjadi kekurangan perempuan yang nyaris sempurna itu, setidaknya bagi Katrisha.
Ya, tentu saja Katrisha merasa iri. Selama ini, ia selalu bisa menerima bila orang lain mengalahkannya, disebabkan pengalaman mereka yang lebih banyak dan keras.
Aletheia tidak masuk kategori itu. Ia menang terlalu mudah. Ditambah lagi, kenyataan bahwa Katrisha buta huruf Avratika. Kehidupannya di biara dulu menekankan untuk mendalami satu bahasa saja: bahasa Ervei. Itu pun belum sepenuhnya.
Lekas Katrisha berganti pakaian dan menyelipkan sebilah pisau di sepatunya demi berjaga-jaga, kemudian membuka jendela kamar. Ia punya kebiasaan mencari udara segar jika terbangun di tengah malam. Dan hal ini jarang diketahui teman sekamarnya sendiri.
Nyaris tanpa suara, Katrisha keluar melalui jendela. Dengan penuh kewaspadaan, ia menyelinap di balkon lantai dua sampai menapak turun tepat di depan taman markas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katrisha Asther
FantasySekian ribu tahun lamanya perseteruan antara bangsa Manusia dan Ervei, tibalah masa-masa perdamaian. Takhta Merah, pemerintahan Manusia, membuka kesempatan bagi bangsa Ervei untuk membaur dan berbagi pandangan dengan penduduk. Semua itu dilandasi ha...