Bab 9 - Perlawanan [2]

4 0 0
                                    

Kleine hanya mampu terperangah. Tangan kanannya raib bersamaan dengan darah dan sebagian besar kesadarannya.

Menovia Shedia berlutut, memegangi dagu Kleine. Tatapan mereka saling bertemu. "Bagaimanapun, kamu juga makhluk. Kasihi dirimu sendiri. Jangan—"

Tapi Kleine belum menyerah. Ia meniupkan api ke mata perempuan itu. Membuat Menovia Shedia berjengit dan menggeram. Menahan rasa sakit tak berperi yang merambati seluruh tubuh, Kleine berusaha bangun. Nahas, kepalanya lebih dulu melesak ke dalam jalanan.

Kesempatan melarikan yang Kleine harapkan pupus.

Sang Klerik, setelah berhasil mengatasi panas kecil di matanya, menghunjamkan ujung tongkatnya ke lengan Kleine yang masih waras. Pemuda itu meronta, dan injakan di mukanya kian menekan.

"Kamu—"

Ucapannya terhenti. Menovia Shedia mengentak tubuhnya ke belakang.

Bunyi udara terbelah memberitahu Kleine, sesuatu melesat ke arahnya. Kilatan putih membubung hanya beberapa ibu jari di atas hidungnya. Sihir itu berakhir mengenai kehampaan saja.

Ia menajamkan pendengaran. Derap langkah sepatu logam di atas salju memenuhi udara, tidak begitu jauh.

Ada yang mendekat. Kleine tak berbesar hati dengan berpikir pendatang itu hendak menolongnya. Kepayahan, ia lekas mengambil langkah seribu.

Tanpa aba-aba, panah-panah sihir serentak membanjiri tempat Kleine berdiri. Salah satu menggores lengan mantelnya. Dan rupanya tak hanya merobek mantel, melainkan sampai menembus kulit.

Belum cukup, Kleine tergelincir. Tubuhnya berguling di atas lapisan salju, sampai benar-benar berhenti sama sekali. Pemuda itu merintih, pergelangan kakinya dijerat sesuatu yang tidak terlihat.

Kleine menghunjamkan kelima jemarinya ke dalam salju, namun usahanya sia-sia. Butiran salju hanya terkumpul pada tangannya sedangkan dirinya terus diseret. Mati-matian ia berbalik untuk melihat penyebabnya.

Lagi-lagi, itu Menovia Shedia. Tidak ada lagi kehangatan yang tersisa pada roman wajahnya.

"Aku akan—"

Ancamannya takkan pernah selesai, karena tiba-tiba saja sebuah tangan putih raksasa melibasnya. Menimbulkan debuman dan denting logam yang keras.

Kleine mengerjap, setengah tidak percaya menyaksikan penyelamatnya. Itu bukan tangan Raksasa—apalagi Manusia—melainkan sebuah Golem.

Makhluk menyerupai makhluk berakal setinggi tiga depa itu terbuat dari salju padat, bahkan sepasang tangan serta kepalanya yang kecil mirip bola besi. Manusia biasa dengan tanpa perlindungan yang cukup akan mati jika ditinju salah satu tangan Golem tersebut.

Di saat yang bersamaan, Kleine tertegun menyadari sesuatu. Pengendali Golem itu pastilah seorang Ervei.

Nyaris seketika, dua orang dalam balutan jubah bertudung muncul entah dari mana. Seorang di antaranya membawa tongkat emas bergemerincing dan bercabang tujuh.

Ervei.

Menovia Shedia mengabaikan Kleine begitu saja. Ia mengangsurkan tongkatnya, berkomat-kamit, dan melontarkan panah-panah api dari puncak tongkatnya pada dua pendatang itu.

Panah api tersebut melesak ke dalam tubuh dingin Golem yang tepat waktu mengadang. Makhluk itu tetap bergeming dengan lengan besar yang tidak bergeser sedikit pun.

"Wanita jalang," sebut salah satu sosok dalam jubah—seorang laki-laki, dalam bahasa Ervei yang tak berlogat, "bagus juga berpikir melalui jalur berbahaya." Ia menumbukkan tongkatnya ke tanah.

Bersamaan, Golem salju yang dikendalikannya memanjangkan sebelah lengan. Menovia Shedia tak sempat bersiaga. Tangan besar merenggut dirinya, memisahkannya dari tongkat peraknya. Dan ia tak sempat berbuat apa-apa ketika Golem membanting tubuhnya tanpa ampun.

Kleine meringis, kembali teringat betapa sebagian besar Ervei membenci perempuan Heleska.

Lama-kelamaan, perempuan itu benar-benar tak berdaya. Lengan dan kakinya bergeser ke sudut yang tidak semestinya. Tulang-tulangnya mencuat keluar. Wajahnya hancur sama sekali.

Puas dengan hasil kerja Golem, sang Ervei pengendalinya menyuruh makhluk itu melemparkan jasad tak utuh ke tengah jalanan. Terakhir, ia perintahkan si Golem membuyarkan diri.

Kleine langsung memalingkan kepala, mendadak menggigil. Wajahnya baru saja terciprat cairan hangat. Ia tidak mengerti lagi harus bersyukur atas kemujurannya, atau marah atas kebiadaban yang terjadi.

Satu sosok berjubah berujar dalam bahasa Manusia, "Tak perlu khawatir. Aku di pihakmu."

"Siapa?" timpal Kleine dengan suara meninggi, mengantisipasi Ervei itu mengenalinya.

"Pembela Kebenaran yang kebetulan lewat," jawab lawan bicaranya. Ia lalu memungut potongan tangan Kleine dan mendekat. "Jangan takut. Aku akan memulihkannnya."

Kleine menelan ludah. Giginya saling beradu saat dilihatnya seseorang mengangkut telapak tangannya. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya berharap calon penolongnya itu tidak berubah pikiran maupun menyadari identitasnya.

Sosok asing itu berlutut di samping Kleine. "Tanganmu, agak ke atas sedikit dan jangan gemetar."

Kleine memosisikan lengannya dalam letak yang diminta sambil mengatupkan matanya rapat-rapat.

Ia rasakan sakit luar biasa merambat dari ujung rambut hingga ke bawah kaki. Sekuat tenaga menahan dirinya agar tidak meronta. Ototnya menegang. Urat mencuat di dahi. Tulang-tulangnya seperti berputar dan pembuluh-pembuluh tangannya seolah memanjang untuk menyambungkan diri.

"Hentikan!" Kleine memekik sekeras yang dapat dilakukannya, menimbulkan desis sebal penolongnya. "Tolong—"

"Buka matamu," perintah si Ervei. "Tiada yang perlu dicemaskan. Seluruh lukamu sudah sembuh dan menutup."

Pelan-pelan Kleine membuka mata. Wajahnya menjadi panas sebab menyadari kebenaran pernyataan barusan. Ia dapat menggerakkan jemari dan kakinya dengan bebas. Sekujur tubuhnya kembali normal, tanpa cacat sama sekali. Hanya terdapat bekas-bekas kemerahan dan sedikit perih yang tidak terlalu mengganggu.

"Kau beruntung atas kedatanganku, Manusia malang."

"Te-terima kasih ... terima kasih."

"Kautahu?" tanya si Ervei seraya bangkit berdiri. "Sebenarnya tidak serumit yang kaubayangkan. Bukan hanya Ervei, Manusia juga bisa melakukan perbaikan semacam itu. Bahkan lebih hebat lagi. Dan bayangkan, kekuatan besar yang akan kaumiliki digunakan untuk mencapai tujuan yang mulia. Kau akan memperoleh kekuasaan di dunia dan di hari nanti."

Kleine didera firasat tidak enak. Ia harus angkat kaki.

"Para Manusia bebal berkata wanita adalah pemimpin atas golongan kita," sambung si Ervei. "Tapi tahukah kalian, bahwa gagasan itu sama sekali keliru? Kita bisa menaklukkan mereka kapan saja. Andai, andai kebenaran ini terkuak sejak lama. Kita hanya perlu bergerak dan melawan."

... "Rasa persamaan Dayan ada pada jenis kelamin. Rasa persamaan Helev ada pada kebangsaannya." Tak berminat mendengar, Kleine bergegas kabur.

Si Ervei tidak beranjak sedikit pun. Tiada pula tanda-tanda akan menyerang. Alih-alih, ia melambaikan tangannya.

"Tak apa. Tidak ada pemaksaan dalam ajaranku," ujarnya. "Tapi kebenaran seringkali disadari belakangan. Dan aku yakin kaupunya cukup akal untuk memikirkannya."

Tapi perhatian Kleine justru tertumbuk pada sesuatu di belakang Ervei gila itu.

Jasad tak utuh di sana telah menghilang. Tidak satu pun terdapat tanda-tanda pembantaian selain bekas darah yang perlahan tertimbun putih.

Katrisha AstherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang