Musim beku yang menerpa wilayah Avratika belakangan ini membuat medan sangat tidak bersahabat.
Berkali-kali Katrisha hampir terjatuh. Timbunan salju setinggi betis terus menjeratnya, sementara ranting pepohonan yang mencuat ke samping terus-menerus melecutnya. Diperparah dengan fakta Irena berada di belakang tubuhnya.
Beruntung, gadis itu tidak seberapa berat. Walau begitu Katrisha tetap saja harus berjuang mati-matian, hanya untuk memperlebar jarak di antara dirinya dan musuh di belakangnya.
Ia terus berlari. Svizari yang seolah tidak punya rasa lelah pun masih memburunya. Katrisha mengulas senyum getir. Setidaknya, dalam keadaan yang lebih baik dan bersama seorang temannya, ia bisa saja menumpas iblis-iblis itu.
Ironis, sekarang justru dirinya yang diburu.
Hari semakin larut dengan bulan Hifara yang termakan kabut tipis. Baris bintang di langit utara memandu Katrisha menuju arah ke luar hutan.
Raungan dan suara cabikan masih berdendang di udara, dan hutan jarum yang Katrisha lalui seakan-akan tidak memiliki ujung.
Semakin lama, pepohonan pinus malah semakin rapat. Salju kian meninggi dan penglihatan Katrisha yang selalu bisa diandalkan tampaknya takkan membantu lagi dalam waktu cepat atau lambat. Lenteranya pun terlepas tutupnya dan membebaskan kunang-kunang biru dari dalamnya.
Pepohonan kian merenggang tatkala Katrisha sampai di tepi sebuah anak sungai yang airnya mengeras.
Dengan hati-hati dia melangkah di atas bebatuan yang tampak kukuh. Sesampai di seberang sungai, barulah Katrisha berani menoleh lagi ke belakang. Pengejarnya sama sekali tak jera.
Di tengah kekhawatiran dan keletihannya, Katrisha mengembuskan napas, mencoba menenangkan dirinya. Ia pernah menghadapi masa-masa sulit, bahkan yang jauh lebih menyakitkan dan gelap daripada yang saat ini menimpanya.
Mereka sudah mati.
Katrisha mempercepat langkah. Memberinya ruang untuk meletakkan Irena di tanah pejal di atas sebuah undakan tak jauh dari posisinya, sebelum akhirnya ia berbalik menghadapi seluruh Svizari seorang diri.
Lalu Katrisha memfokuskan pikirannya. Pedang peraknya terangkat, siap membabat Svizari di hadapannya.
"Lahavah," bisik Katrisha, merapal mantra dalam bahasa Ervei yang, kebetulan pernah dipelajarinya.
Dalam satu tarikan napas, satu titik api kemerahan yang sangat terang terbit dari kehampaan, lantas bergulung dan memadat di atas Katrisha. Untuk kemudian, ia mengarahkan sihir mematikan tersebut ke depan, dipandu senjatanya, menghantamkan api pada kawanan Svizari.
Sihirnya memukul telak gerombolan iblis itu. Selaput es yang melingkupi sungai pun mencair sebagian, menghentikan pergerakan iblis-iblis itu sejenak. Setidaknya sampai mereka kembali memulihkan diri.
Katrisha tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Ia mengentak ke depan, tepat ketika rasa kebas yang tak tertahankan menyerang dirinya. Rasa sakit itu menjalar dari kaki, sampai menggelayuti seluruh tulang-tulangnya dan menghentikan pergerakannya. Mungkin akibat penggunaan sihir berkekuatan besar barusan.
Ia pun jatuh dengan wajah menghantam tumpukan salju.
Katrisha menggeser posisi kepalanya susah payah. Melalui ekor matanya, ia dapat melihat para Svizari bertubuh hangus mulai beranjak dari tempat mereka, sangat perlahan hingga semakin cepat menuju Katrisha.
Dengan keadaannya sekarang, kecil kemungkinan bagi Katrisha untuk memenangkan permainan nasib ini. Nyawanya yang akan terenggut dan takkan ada lagi yang tersisa dari perburuan kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katrisha Asther
FantasySekian ribu tahun lamanya perseteruan antara bangsa Manusia dan Ervei, tibalah masa-masa perdamaian. Takhta Merah, pemerintahan Manusia, membuka kesempatan bagi bangsa Ervei untuk membaur dan berbagi pandangan dengan penduduk. Semua itu dilandasi ha...