Bab 8 - Tindakan Keliru [2]

5 1 0
                                    

Setitik terang terbit di antara kegelapan hutan.

Katrisha menyalakan lentera. Mengumumkan diri di antara keheningan.

Waktu semakin larut dan mencekam. Walau demikian, tidak ada tanda-tanda kedatangan badai. Tak pula Svizari.

Dihunusnya pedang perak. Bersiap-siap bila hewan buruan menampakkan diri.

Senjatanya tersebut memang tidak ideal untuk berburu hewan. Tapi setidaknya, Katrisha bisa berlari dengan cepat. Lagipula ia juga membawa dua buah belati, dan kemampuan melemparnya tidak terlalu jelek.

Langkah Katrisha sudah jauh, tapi ia belum menemukan apa pun. Kedua kakinya mulai kebas. Tak lama kemudian, seolah memutus penantian, barulah ia menangkap pergerakan seekor tupai. Segera, ia bergerak pelan-pelan ke sumber perhatiannya.

Si tupai tengah menggerogoti sesuatu. Katrisha mendekat sehati-hati mungkin. Ia berhenti di belakang salah satu pohon jarum yang besar, lalu meletakkan lenteranya di tanah. Dicabutnya satu belati dari selipan sepatu tinggi. Begitu tenang dan senyap.

Jaraknya dengan tupai itu kira-kira tiga depa. Dalam hitungan tiga, nyawa makhluk kecil itu akan berakhir.

Satu ... dua ...

Jeritan seseorang sampai ke telinga Katrisha. Akibat terlalu terfokus, jantungnya langsung berdentam tak keruan. Ia terkesiap sampai membuat kebisingan kecil, menyebabkan si tupai menyadari kehadirannya dan melompat-lompat pergi.

Kenapa aku harus mendengarnya, sih?

Katrisha paling benci diganggu, tapi ia lebih mengutuki nasibnya. Dalam situasi begini, ia mendengar permintaan tolong dan entah kenapa merasa terpanggil untuk mencari asalnya.

Satu-satunya hal yang disyukuri Katrisha hanyalah, itu bukan suara Kleine.

Dengan perasaan yang tak menentu, Katrisha berlari ke dalam hutan yang lebih rapat. Namun kepungan pepohonan berakhir dalam waktu singkat. Lekas, ia menemukan jalan setapak, membelah kungkungan pohon dengan rapi.

Pandangan Katrisha menyisir jalan setapak itu. Dan pahamlah ia sumber kekacauan tadi berasal dari sana.

Sebentuk kereta rusa terhenti di tengah jalan setapak, terpapar sinar rembulan. Penumpangnya sendiri mengalami kesulitan. Seorang Menovia, bersama satu perempuan lain yang diduga kusir, diadang empat orang perampok—para perempuan yang berbalut jubah hitam.

Sebenarnya tidak terlalu mengherankan bila hal itu terjadi. Menovia terikat oleh aturan untuk tidak melukai Manusia Heleska, meski mereka lebih dari sanggup untuk melakukannya.

Pelanggaran tradisi, dapat mengakibatkan mereka kehilangan kesaktian. Hasilnya jelas, ketetapan ganjil tersebut menjadikan para Menovia sasaran yang empuk untuk berbagai tindak kejahatan.

Dasar bebal. Aturan ada untuk melindungi, bukan membatasi.

Tanpa banyak pikir, Katrisha bergegas maju. Bawaan ia letakkan di bibir setapak berbatu. Ia bahkan tidak memperhitungkan kemunculannya yang begitu terang-terangan, hingga perhatian kesemua perampok beralih kepadanya.

"Itu anak buah Klarena," penyamun berbadan paling pendek berkata. Lebih terdengar melecehkan dibanding kaget.

Dari perkataan itu, Katrisha menyimpulkan orang-orang ini merupakan anjing-anjing Ioga, bos Kleine yang terdahulu. Tapi apa tujuan mereka merampok, apalagi dari seorang Menovia?

Katrisha belum pernah mendengar pekerjaan lain Serikat Pencuri, kecuali menjarah dalam keheningan. Betul-betul tidak lazim.

"Dia itu mau cari mati," timpal perempuan bersenjatakan pedang. "Kalian bawa kabur si Menovia sama kusirnya."

Katrisha AstherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang