Bab 4 - Petunjuk Pertama [2]

8 2 0
                                    

Waktu menjelang tengah hari ketika akhirnya Katrisha berpamitan dari rumah Orim, yang mulai didatangi beberapa orang Manusia.

"Semoga beruntung," ucap Ervei itu dalam bahasa ibunya. Katrisha menjawab sama, kemudian beranjak pergi dengan membawa bingkisan dan satu mantel baru pemberian Orim.

Begitu keluar dari gang, ia langsung mendapati tiga sosok yang dikenalinya.

Fiode dan Irena, serta pemuda berambut hitam yang sedang dipapah keduanya. Lelaki asing itu dibalut banyak perban, dan seharusnya ia tidak keluar dalam keadaan kacau dan tampak terperangah seperti itu.

"Hei!" panggil Katrisha lantang, lantas bergerak menuju teman-temannya.

Irena menyambut kedatangan Katrisha dengan tatapan dingin. "Ke mana saja kamu?"

"Aku mengunjungi temanku. Dan obrolan kami jadi sangat lama!" Katrisha menggaruk kepala belakang. "Maaf, ya!"

Menilik rekannya ini beberapa kali, barulah Irena mendingin. "Hmm ... ya sudah, lah," desahnya. "Sekarang kita pulang saja. Menovia Aleksea betul-betul sudah gila. Tak mengherankan tempatnya begitu sepi sementara dia satu-satunya penyembuh perempuan di desa."

"Apa maksudmu?"

"Dia gagal dalam penyembuhan, lalu menuduh orang ini musuh dan berteriak-teriak mengusir." Irena melirik pemuda yang dipapahnya. "Menyebalkan sekali, 'kan? Padahal aku sudah membayarnya. Uang yang seharusnya bisa mendatangkan selusin anak panah."

Katrisha memandangi pemuda asing itu. Sesaat, tatapan mereka bertemu. Sekelebat kesedihan dan keputusasaan melintas di dalam mata kelabu itu, Katrisha bisa melihatnya.

"Aku Katrisha," Katrisha memperkenalkan dirinya. "Dan kau?"

"Kleine."

Kalau dalam situasi yang biasa, tawa Katrisha mungkin meledak-ledak. Namun melihat keadaan Kleine, ia hanya bisa tersenyum simpatik. "Senang bertemu denganmu," ujarnya.

Kleine mengulaskan senyum tipis. "Aku juga."

Fiode mencolek bahu Katrisha. "Katanya kita mau pulang? Ayo. Tapi, mending kita ke kedai dulu."

"Ya, ya, sabarlah. Lagipula tak bagus membawa dia dalam keadaan dibalut perban begitu," cetus Katrisha khawatir. "Aku tahu penyembuh lain di desa ini. Kenapa tidak ke sana? Meski orang itu Ervei, kemampuannya tak perlu diragukan lagi. A-aku baru saja—"

Irena dan Fiode mendelik pada Katrisha sebagai tanggapan. Menyiratkan itu sama sekali bukan ide yang bagus.

"Aku lapar sekali," kata Fiode tanpa memedulikan perkataan Katrisha. "Kalian juga begitu, 'kan?"

Teman-temannya mengangguk bersamaan, kecuali Katrisha yang masih cemberut. Berikutnya, mereka segera menuju ke kedai paling bagus yang letaknya jauh dari rumah Menovia Aleksea.

Rupanya semua orang ada di sini .... Katrisha menarik satu sudut bibir ke atas.

Tempat itu dipenuhi banyak sekali pengunjung. Mulai dari para pemburu sampai perempuan-perempuan berumur yang mengenakan pakaian mahal.

Fiode mengenali beberapa orang di antara mereka. Ia mengobrol sebentar dengan orang-orang itu sebelum menginstruksikan teman-temannya untuk duduk di pojok kedai. Untunglah semua orang tenggelam dalam kesibukannya masing-masing. Tidak ada yang melirik maupun bertanya-tanya soal pemuda berambut hitam dalam balut perban.

"Kaukenal para pemburu itu?" tanya Katrisha. Diperhatikannya orang-orang yang tadi bicara dengan Fiode secara saksama, tiada satu pun yang dikenalinya.

"Itu pasti," Fiode menyahut riang. "Aku punya banyak penggemar di dalam maupun di luar kelompok." Seringainya tambah lebar tatkala mengucapkan kalimat terakhir.

Katrisha AstherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang