Bab 11 - Perjalanan Panjang [1]

3 0 0
                                    

Dua hari sejak pembicaraan dengan Klarena, adalah waktunya bagi Aletheia dan yang lain untuk berangkat. Perjalanan ke Halavra memerlukan kira-kira tiga minggu melalui rute biasa. Ditambah pengumpulan informasi yang bisa berlangsung lebih lama lagi. Kali ini, mereka masih berniat untuk melalui jalur tak lazim demi membasmi Svizari sepanjang jalan. Aletheia memperkirakan, bila lancar, tujuan akan terlihat selepas satu purnama.

"Bisa-bisa kita menetap lama, Katrisha," Aletheia mengingatkan teman sekamarnya itu. Sementara kedua tangannya sibuk mengemasi barang-barang.

Selain pakaian, bekal makanan, uang dan keperluan berkemah, ia juga membawa beberapa buku. Isinya adalah panduan bertahan hidup di alam liar dan mantra-mantra praktis, serta satu koleksinya yang berupa buku syair. Aletheia sering membaca ulang buku itu, dengan harapan puisinya akan menyamai sang penyair suatu saat nanti.

"Aku tahu itu!" tukas Katrisha sedikit gusar. Ia menjejalkan pakaian ke dalam tas secara serampangan.

Memasuki fase bulanan, membuat orang yang Aletheia anggap sebagai saudari itu agak sensitif dan keras kepala—oh tidak, pikirnya, Katrisha memang selalu keras kepala.

Paham tidak ada gunanya memberitahu, Aletheia menyibukkan diri dengan melakukan hal yang lebih bermanfaat. Kereta rusa yang hendak mengantar mereka—yang kebetulan juga menuju Ibukota—akan sampai setelah tengah hari. Jadi sekarang ia berinisiatif untuk membersihkan taman depan serta mengangkut pesanan roti dan ikan lebih awal.

Jatuh ke pengangkutan yang ketiga kalinya, Aletheia terdiam karena mendapati sesuatu. Ada kumpulan perempuan tua sedang membicarakan tema yang serius dan tak alang memancing perhatiannya.

"Sheraga Asher," koreksi salah seorang di antara mereka. Dari aksen dan bentuk mukanya, ia jelas bukan warga lokal. Pasti dari suatu tempat di Luminoshka. "Katanya, dia orang penting. Keratuan menginginkan dia dalam keadaan hidup. Imbalannya seribu Bashka."

"Ervei, ya?" balas perempuan di sebelahnya.

"... Namanya saja terdengar mengerikan."

"... Apa sih, itu?"

"Aku tidak bisa menyebut ulang!"

Perempuan asing yang pertama bicara memutar mata. "Tentu."

"Dan kalau harganya sudah setinggi itu, dia pasti telah melakukan sesuatu yang besar."

"... jahat? ... Orangnya Amatheo?"

"Entahlah," perempuan lawan bicaranya mengangkat bahu. "Informasi yang kudapat tidak menyebutkan perbuatannya. Tapi aku yakin, ... pasti berbahaya."

"... Menurutku dialah Amatheo itu!"

Amatheo, tidak mungkin salah dengar. Sejak kecil, Aletheia mengenali nama itu sebagai musuh besar umat Manusia. Laki-laki yang menentang bangsanya sendiri demi menyebarkan pengaruh kaum-iblis Ervei. Menyebabkan laki-laki menyadari potensi perlawanan terhadap kekuasaan perempuan dan memutuskan kudeta.

Kembali lagi mendengar nama itu sampai ke Desmoa, walau paham bukan sosok yang serupa, Aletheia merasa ia tidak boleh berpangku tangan belaka. Sesuatu akan benar-benar terjadi.

Aletheia beranjak tatkala seorang laki-laki besar mengomelinya dari belakang. "Jalan pakai mata! Jangan diam saja!"

"Nyatanya kita berjalan dengan kaki, Markui," Aletheia melemparkan senyuman. Markui merupakan sebutan kehormatan untuk laki-laki, sedang bagi perempuan sebutannya adalah Martha.

Wajah laki-laki itu sontak merah padam. Ia menyerapah dalam diam sebelum berpaling.

Sekotak kayu ukuran sedang berisi sarden segar diletakkan oleh Aletheia di dapur markas. Inilah yang terakhir. Katrisha sudah memanggil-manggil dari luar. Persiapan Kleine juga telah selesai dan ia pun menunggu, jauh dari kerumunan anggota lain.

Katrisha AstherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang