Katrisha segera beranjak. Membelok ke sebuah gang di antara pertokoan.
Jalan tikus itu benar-benar lembap dan berbau apak. Tanahnya terlalu basah dan kotor akibat tiada yang mengurus. Diramaikan oleh tikus-tikus dan kucing-kucing yang berkejaran.
Bagian atasnya dinaungi pinggiran atap-atap bangunan yang menghalangi salju turun. Temboknya licin karena dipenuhi lumut. Lipas sesekali terbang di dekatnya. Sehati-hati mungkin Katrisha melangkah agar tidak tergelincir atau dihinggapi lipas. Dibandingkan Svizari, ia lebih takut bila serangga menjijikkan tersebut terbang ke wajahnya.
Tak lama kemudian, gang kumuh itu berakhir di sebuah pelataran luas yang dipenuhi bunga berwarna merah muda, dengan tangkai serta daunnya yang keperakan. Kontras dengan langit pagi yang kelabu suram.
Memoreia. Bunga langka yang biasa dibudidayakan Ervei.
Pada pagi hari, tanaman-tanaman itu mengeluarkan alunan nada dari kelopak, yang menyerupai nyanyian para peri—makhluk kecil bersayap yang mengeluarkan pendaran cahaya sendiri. Sesaat, Katrisha terdiam untuk menikmati alunan yang ada.
"Kebiasaanmu ... belum berubah," kata orang yang mendatangi Katrisha. "Tiap kemari, yang pertama kali kamu lakukan ... pastilah berdiam di sini."
"Orim!" panggil Katrisha riuh. "Kau juga tidak berubah!"
Ia pun memeluk Orim. Melepas kerinduan setelah sekian tahun tidak bertemu.
Selayang pandang, Orim kelihatan seperti Manusia berumur awal tiga puluhan. Namun Katrisha tahu, paling tidak ia berusia lebih dari dua ratus tahun—masa ketika seorang Ervei tidak bisa lagi disebut muda. Ervei berhenti mengalami pertambahan usia fisik saat menyentuh kehidupan 33 tahun.
Tak jauh dari sebangsanya, Orim memiliki sepasang mata serta rambut yang berwarna gelap. Kulitnya pucat, sedingin es. Wajahnya yang sayu selalu tampak mengantuk.
Katrisha mengenal Orim sejak kecil. Orim adalah teman Frato-nya. Seorang Ervei penyembuh yang andal, dan Katrisha menganggapnya paman.
Ervei itu telah berkomitmen akan membantu siapa saja yang kesulitan, sebagai balasan karena diizinkan tinggal di lingkungan Manusia. Konon, ia meninggalkan negerinya di Barat demi mencari kebahagiaan.
"Kamu ... tumbuh menjadi perempuan yang kuat dan tegar. Aku bisa melihatnya ... dari pandanganmu," kata Orim, suaranya sendu sekali. "Sudah lama ... kita tidak bertemu. Bagaimana keadaanmu? Dan kenapa ... tidak bersama Frato-mu? Di mana Amatheo?"
Katrisha tertunduk. "Banyak hal terlewat selama tujuh tahun," terangnya. Batinnya begitu sakit saat berusaha merangkai kata-kata balasan, "Frato ... aku tidak tahu kabarnya sekarang, ia pergi. Dan biara kami terbakar. Waktu itu aku tidak ada di tempat kejadian."
Orim menggeleng lemah. "Maaf karena membuatmu ... harus mengingat peristiwa itu lagi. Aku juga ... tidak berusaha untuk mencari tahu, atau mencoba mengunjungi kalian."
"Tidak apa-apa."
Orim tersenyum, lantas berjalan beberapa langkah. "Berdiam di luar saja itu ... tidak sehat. Apalagi kamu Manusia."
Dari luar, kediamannya bisa dibilang cukup sederhana. Tidak jauh berbeda dari rumah-rumah warga di Aruveia. Atapnya disusun dari kayu-kayu sirap, sementara sebagian besar dindingnya dari bebatuan gelap. Pagar putih setinggi lutut membatasi sekeliling teras. Ditambah sebuah istal menghiasi halaman belakangnya. Ladang bunga Memoreia tadi adalah pekarangan rumah Orim.
"Senjata-senjata itu ... untuk apa?" tanya Orim sambil melirik tas Katrisha.
"Sekarang aku bekerja sebagai pemburu Svizari," Katrisha berkata sehati-hati mungkin agar tidak menyinggung Ervei itu. "Aku baru kembali dari perburuan di Selva Gotia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Katrisha Asther
FantasySekian ribu tahun lamanya perseteruan antara bangsa Manusia dan Ervei, tibalah masa-masa perdamaian. Takhta Merah, pemerintahan Manusia, membuka kesempatan bagi bangsa Ervei untuk membaur dan berbagi pandangan dengan penduduk. Semua itu dilandasi ha...