Bab 3 - Kawan Lama [1]

5 2 0
                                    

Sebelumnya: Kleine ditugaskan mencuri sesuatu dari seorang Ervei di Selva Gotia, yang terungkap berisi Svizari.

Ketenangan di Hutan Arwah terusik oleh derap-derap kaki yang bising. Sambil saling bercakap-cakap dan melempar candaan, tiga orang pemburu melangkah menembus dera salju yang nyaris abadi.

"Gantian!" tuntut Fiode. "Orang ini berat sekali, tahu!"

Pemuda berambut cokelat itu terus-menerus mencecar selama perjalanan pulang. Ia berjalan tertatih-tatih dengan beban berupa Manusia di belakang punggungnya, sedangkan dua temannya membawakan peralatan berburu.

Katrisha sendiri tidak ambil pusing. Ia tak pernah menyahut dan hanya balas tersenyum.

Ketika perdebatan itu sudah membuatnya agak jengah, Katrisha menjawab santai, "Kau ini bagaimana, sih? Kalau dipindahkan, luka-lukanya bisa melebar."

Fiode menggeram tertahan. Asap tipis berembus dari balik deret giginya. "Demi musim panas," keluhnya. "Kenapa kita mesti kembali lagi?"

Katrisha tersenyum kecil mendengarnya. Beberapa saat sebelumnya, ia mendengar raungan Svizari, yang sudah sangat dipahaminya sebagai semangat untuk memangsa. Ditambah nyala api yang membubung ke angkasa.

Itu artinya, masih ada tanggung jawab yang harus diselesaikan. Fiode dan Irena yang akhirnya menuntaskan pekerjaan melenyapkan sisa Svizari di Selva Gotia, sesuai arahan ketua mereka.

Ditambah lagi, mereka menemukan pemuda sekarat saat perjalanan pulang—yang kini dibopong Fiode. Beruntung, mereka masih dapat melihat tanda-tanda kehidupan. Irena yang cukup mahir penyembuhan pun sempat membebat luka-lukanya. Kalau terlambat sedikit saja, maka bisa jadi pemuda itu sudah tewas kehabisan darah.

Atau yang lebih buruk, ikut mati bersama Svizari.

Laki-laki misterius itu berambut hitam kelam—yang tidak begitu lazim di kalangan anusia—dan kurus menyerupai Fiode. Ia juga masih muda, mungkin usianya setara dengan Fiode.

Katrisha sendiri berusia delapan belas, sedangkan Fiode dan Irena berumur dua puluhan. Namun menilik penampilan serta senjata yang dibawanya, kelihatannya pemuda itu bukan sekadar orang nekat yang berakhir tersesat di hutan.

Fiode menggeram sesaat, lalu berdeham untuk membersihkan tenggorokannya. "Heh, kalian wajib membayar untuk semua ini!"

"Sip!" sahut Katrisha ringan.

Irena menambahkan, "Satu tong vodka pun kubelikan buatmu."

Fiode mengerucutkan bibir. "Hah, jangan banyak bual, Irena!"

"Ini akan jadi utang yang lain."

Katrisha tertawa kecil. Ia bergumam sebentar sebelum bicara lagi, "Oh, ya, kupikir orang ini takkan selamat kalau kita membawanya sampai ke markas. Sebaiknya kita cari tempat bagus—ah, maksudku kita singgah saja dulu."

Seringai Fiode mengembang. "Aku senang kau selalu paham keadaan, partner. Tapi aku bakal sangat senang kalau kau memahami masalah yang lebih penting." Ia mengedipkan sebelah mata.

"Ya, akan kutraktir kau makan," balas Katrisha, "partner."

Fiode terkekeh-kekeh.

Tentu saja. Dengan udara sedingin saat ini, mengumbar pemuda terluka di area terbuka sama saja membunuh orang itu perlahan-lahan. Ia akan kehilangan hidupnya sebelum siapa pun sempat membantu.

Semburat kemerahan tampak menembus awan tebal kelabu, menyinari pucuk-pucuk dedaunan dan timbunan salju. Fajar telah menyingsing. Selepas menyusuri deret pepohonan beku yang panjang, sebentuk lahan garapan dengan kawanan domba seolah menyambut hangat.

Dari jembatan batu yang menghubungkan daerah perkebunan dengan permukiman, Katrisha memandang ke depan sesaat. Ia mengenal baik tempat itu, dan di sini pula ia akan langsung bisa menemukan orang yang tepat untuk tiap masalahnya.

Desa Aruveia.

Selembar plang di ambang jembatan menunjukkan informasi kependudukannya, yang dihuni dua ratus keluarga saja.

Desa tersebut tidak ramai sama sekali. Tidak banyak orang melakukan aktivitas perdagangan atau pengangkutan. Hanya terlihat beberapa orang berlalu-lalang, itu pun sebagian besar berupa para penjaga keamanan.

Seluruhnya mengenakan pakaian yang sangat tebal, dan wajah lesu mereka menyiratkan keinginan untuk pindah.

Katrisha memimpin jalan, memilihkan rute aman agar tidak terlalu menarik perhatian. Sehabis melintasi jembatan, dengan sungai lebar yang tak mengeras di bawahnya, ia dan teman-temannya melewati berbagai bangunan dan rumah-rumah yang tersusun dari kayu serta batuan tanpa hiasan. Tampaknya kekurangan semangat hidup orang-orang di desa ini berbanding lurus dengan menyurutnya hasrat untuk menunjukkan keindahan.

"Aku ingin menemui temanku," cetus Katrisha. "Kalian berdua, istirahat saja dulu."

"Temanmu yang mana?" tanya Irena penuh selidik.

Fiode yang memahami maksud partnernya memberi tanda agar Irena tak perlu mendesak tanya.

Katrisha mengangguk senang. "Tenang saja. Tidak akan lama, kok."

Katrisha AstherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang