Bab 10 - Kabut Ingatan [2]

3 0 0
                                    

Cermin besar mempertontonkan sosok seseorang di dalamnya. Matanya kelabu, rambutnya hitam pendek, dengan kulit sepucat kapas.

Sheraga Asher. Nama yang coba ia buang dari ingatannya.

Sekarang, ia "Kleine". Orang yang Tersesat.

Melihat dirinya saat ini, seorang pemburu sisa kehidupan Ervei dengan kebencian dalam sorot matanya, tak seorang pun akan mengira ia dulunya seorang terpelajar, yang begitu memikirkan orang lain sampai-sampai menyia-nyiakan hidupnya.

Kleine selalu menjunjung moral yang diyakininya. Kekhawatiran terbesarnya ialah melebur, sama jahatnya dengan lingkungan yang membesarkannya. Terlebih, ujian demi ujian yang mendera kian menggoyahkan prinsipnya.

Dengan benak yang masih begitu murni, terus direnungkannya peradaban yang semakin sakit. Apa salahnya saling bahu-membahu mengentaskan kesulitan? Bukankah tujuan semua orang adalah selaras, untuk sama-sama memberangus penderitaan? Dan bukankah Dewa memerintahkan untuk saling mengasihi?

Mengapa orang lain tidak bisa berpikir sesederhana dirinya?

Memasuki usianya yang ketiga puluh satu, fakta yang hampir-hampir tak diketahui siapa pun berkat pembawaannya, telah ia sadari bahwa kebaikan tak pernah membawanya ke mana pun. Dunia begitu kejam, dan satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan menjadi serupa. Pun, hubungannya dengan Dewa yang tak tahu diri itu telah berakhir sejak lama.

Sepuluh tahun dalam pengasingan diri menempa Kleine menjadi orang yang sama sekali lain: mementingkan diri, tidak peduli, penuh penolakan. Apa yang pernah diperolehnya semasa kejayaannya berangsur-angsur pamit dari benaknya. Sisa-sisa pengetahuannya mewujud ulang sebagai keterampilan menyesuaikan diri.

Ia sama sekali tidak istimewa, sesuatu yang begitu dihindarinya sewaktu lebih muda. Walaupun demikian, jauh daripada segalanya, ia amat bergembira atas keputusannya. Ia bahagia, itulah yang terpenting.

Kleine, Manusia dan tinggal di lingkungan Manusia. Terpisah dari tanah kelahirannya yang terkutuk.

Meskipun begitu, bagaimana pun juga, Kleine paham ia takkan pernah bisa sepenuhnya menjadi Manusia. Ia berasal dari Yisreya, Dunia Barat. Dengan kenyataan ayahnya seorang Ervei—Dayan.

Dua Menovia telah paham betul siapa Kleine sesungguhnya. Cepat atau lambat, semua orang pun akan menyadari kejanggalan dan kembali mengucilkannya. Hanya masalah waktu sebelum semuanya terbongkar.

Ia membayangkan orang-orang Vashkoveia, yang semula menyambutnya dengan hangat, satu per satu beralih hendak memburunya sebagaimana Ervei. Itu bukannya mustahil untuk terjadi.

Bangsa Ervei ialah kebanyakan penghuni gurun, atau setidaknya begitu pengetahuan umum Dunia Selatan. Mereka sosok-sosok tinggi kurus, bertelinga lancip. Mereka senyap dan cenderung dijauhi. Dengan warna mata serta rambut sekelam malam.

Dua karakteristik terakhir, melekat pada Kleine. Kontras dengan orang-orang sekelilingnya. Menimbulkan cap masyarakat yang tergesa ketika untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Takhta Merah.

Aku tak punya pilihan lain.

Dahulu, Kleine menjadi cendekiawan, memperoleh banyak pencapaian di usia yang begitu muda. Mengungguli Ervei yang memproklamirkan diri sebagai wakil Dewa di dunia. Bangsa yang dipilih oleh Dewa untuk meluruskan alam fana yang sakit.

Semula para Ervei itu menghargainya berkat pemikirannya. Banyak yang mencintai dan mendukungnya, tetapi semua itu beralih menjadi kepalsuan.

Tak jarang Ervei yang membenci kehadiran seorang Manusia, terlebih dapat mempecundangi segenap dari mereka semua. Maka berlandas rasa tinggi itu, mereka berusaha menggagalkan sepak terjang Kleine dengan beragam cara.

Katrisha AstherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang