22. Negeri padang pasir

6.7K 418 189
                                    

  Kamar itu terlihat gelap tanpa pencahayaan satupun yang menerangi, meski sunyi namun terlihat dalam sedikit remang banyak barang-barang pecah yang berserakan di lantai seakan baru saja ada sebuah badai yang menerjang kamar tersebut. Reiner duduk meringkuk dibawah jendela kamarnya yang terbuka menampilkan kegelapan yang menyesakkan tanpa adanya cahaya bulan maupun bintang hanya awan gelap yang menutupi langit malam, ia terisak tubuhnya sudah lemah setelah ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghancurkan kamar miliknya.  Dirinya begitu depresi setelah kehilangan Historia dan yang terburuk ia kehilangan Berthold juga Annie, ia begitu putus asa hingga niat untuk bunuh diri terlintas dipikirannya disaat ia tak lagi mampu menampung beban kehidupan yang dijalaninya. Ini semua terlalu menyakitkan untuk Reiner! Matanya menatap pecahan beling yang berada ditangannya namun saat ia hendak menggores pergelangan tangannya pintu kamar terbuka dan seseorang yang telah menyeretnya untuk kembali ke Marley berjalan menghampirinya lalu berjongkok dihadapannya dan merebut pecahan beling itu dari tangan Reiner namun sebuah luka gores ditelapak tangan didapat orang itu tatkala Reiner bersikeras mempertahankan beling tersebut.

"Biarkan aku mati, Porco!" Ucap Reiner dengan sorot mata memancarkan kesedihan yang mendalam.

"Jika kau mati apa Berthold akan kembali hidup?" Porco melempar beling yang berhasil direbutnya menjauh dari Reiner.

"Dulu, karena aku Marchel mati dan sekarang karena keegoisanku juga Berthold mati! Aku tak pantas untuk hidup!"

"Kematian Marchel bukan ulahmu, namun itu keinginannya sendiri untuk memilih cara kematiannya." Dahi Porco berkerut saat mengingat nasib tragis yang menimpa sang kakak, lalu ia menatap Reiner iba sahabatnya itu begitu terguncang.

"Bagaimana? Lalu aku harus bagaimana? Aku tak sanggup lagi menanggung semuanya!" Reiner menjambak rambutnya frustasi.

"Lanjutkan hidupmu, jangan membuat kematian Marchel dan Berthold menjadi sia-sia." Mendengar perkataan itu membuat Reiner menatap wajah Porco dengan berkaca-kaca, lalu ia mulai menangis dihadapan Porco yang terdiam.

.
.
.
.
.

*
.
.
.
.
.

 
  Sebuah helikopter angkut militer mendarat disebuah landasan didepan sebuah bangunan base camp ditengah-tengah gurun pasir,  angin dari baling-baling helikopter yang berhembus kencang membuat debu pasir beterbangan. Satu persatu para personil squad Levi mulai turun dari helikopter dengan menutup sebagian wajah mereka dikala debu pasir tersebut masih beterbangan dan mengganggu.

"Panas sekali." Keluh Connie ketika tubuhnya harus beradaptasi dengan suhu diatas empat puluh derajat Celcius, daerah timur tengah memang terkenal dengan cuacanya yang ekstrim.

"Aku sering mendengar kota di timur tengah sangat maju dengan gedung-gedung pencakar langit yang super tinggi, tapi kenapa kita malah ditempat para unta?" Gerutu Sasha saat ia melihat sekeliling dan hanya mendapati gurun pasir yang luas sejauh mata memandang.

"Kita sedang menjalankan misi, tidak untuk berlibur." Annie menyahuti seraya menutup kepalanya dengan tudung untuk menghalau sinar terik matahari.

Mereka pun memasuki gedung base camp dimana tempat biasa para pelancong singgah untuk mengistirahatkan tubuh setelah perjalanan jauh, juga untuk menyusun sebuah strategi. Kini mereka berkumpul disebuah ruangan kosong yang cukup luas untuk bisa menampung Levi dan para bawahannya, Mikasa menaruh ransel dan mendudukkan dirinya disudut ruangan disusul Armin yang memilih beristirahat disamping Mikasa lalu Annie datang dan langsung mengambil tempat ditengah antara Mikasa dan Armin. Melihat kelakuan aneh gadis berambut pirang tersebut membuat Mikasa menatapnya tak suka begitu pula dengan Annie dan mereka pun saling melempar tatapan benci, Armin yang melihat hal itu hanya meringis saat merasakan aura gelap yang menyelubungi tubuh kedua gadis itu.

Risk of Ackerman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang