Gue nggak punya kenangan apapun soal Mama. Secara, baru umur satu tahun Mama udah pergi meninggalkan dunia. Kalau ditanya gimana perasaan gue, ya jelas sedih lah. Gue iri sama temen-temen gue yang orang tuanya komplit. Kalau ke sekolah dianter berdua, diambilin rapor, terus suka pamer cerita kemarin habis ngapain aja sama orangtuanya.
Lha gue? Yang nganterin sekolah kalau enggak bibi ya ajudannya Papa, bikin geger satu sekolahan karena ngambil rapor aja harus bawa satu kompi pasukan TNI, dan nggak ada ceritanya liburan gue habisin sama Papa karena Papa selalu sibuk sama kerjaannya. Menyedihkan kan? Iya emang menyedihkan kalau dilihat dari sudut pandang gue dulu. Tapi sekarang, kenangan itu justru jadi cerita manis buat gue, karena ternyata gue bisa survive menghadapi dunia ini walau tanpa kehadiran seorang Mama. Dan hal itu membuat gue bangga sama diri gue sendiri.
Tangan Kendra tiba-tiba aja ngusap pipi gue yang udah banjir air mata. "Loh, kok aku nangis?"
Kendra mengernyit, "Kok malah nanya? Orang yang nangis kamu" jawabnya.
"Iya ya.. Kok aku nangis. Apa yang ditangisin. Punya kenangan sama Mama aja enggak. Kenapa tiba-tiba nangis" gue berkata pada diri gue sendiri. Namun jauh di lubuk hati gue ngerti, justru gue nangis karena gue nggak punya kenangan apapun untuk ditangisi.
Dengan lembut Kendra mengusap-usap rambut gue, membawa gue lebih dekat ke nisan Mama, dan berkata, "Maaf ya Tante, dateng-dateng ke sini saya malah bikin anak Tante yang cantik nangis."
"Enggak Mama, bukan Kendra kok yang bikin Sasa nangis. Jangan dijewer ya Ma, Kendranya" gue ngebelain si Mamas.
Eh, malah diketawain, "Tante ini anaknya bisa lucu banget gini sih. Bikin saya makin sayang deh Tan"
"Mama, ini calon mantunya Mama nggak biasa-biasanya ngegombal kayak gini. Kan Sasa jadi suka. Mama suka juga enggak? Pasti suka dong. Udah ganteng, rajin sholat, bisa diandelin, kerjaannya bawa senapan kemana-mana, terus cinta mati sama Sasa. Eaaak..."
"Enggak Tante, saya nggak sesempurna itu. Tapi buat Sasa, saya akan mencoba memberikan yang terbaik. Maka dari itu, hari ini kita ke sini untuk meminta restu, sebentar lagi saya mau menikahi anak Tante"
"Mama nggak boleh nggak suka ya sama Kendra. Nanti Sasa sedih loh. Pokoknya Mama harus kasih restu" timpal gue. "Nggak kayak Papa waktu itu masak seenaknya aja jodoh-jodohin Sasa, kan Sasa cintanya cuma sama Kendra. Nanti marahin Papa ya Ma. Kalau perlu jewer kupingnya." gue mengadu.
Setelah basa-basi tidak jelas di depan nisannya Mama, Kendra membimbing gue melafalkan doa-doa untuk Mama. Si ganteng bagian bacain ayat-ayatnya, gue cuma amin-amin di belakang. Habis nggak ngerti dia baca apa, yang gue ngerti cuma ada Al-Fatihah sama Qulhu-Qulhu dan Rabbifirli-nya yang nyempil.
Selesai acara ziarah, Kendra bawa gue motoran ke pinggir kota Jogja, lebih tepatnya ke Bukit Bintang. Siapa yang nggak tau tempat hits untuk menikmati pemandangan malam hari di kota Jogja ini. Ratusan ribu lampu yang berpendar di setiap sudut kota terlihat seperti bintang-bintang yang gemerlapan dari atas sini. Belum lagi pemandangan gunung Merapi yang berdiri kokoh menjaga di sebelah utara dan birunya pantai Selatan yang terlihat di siang hari. Bener-bener tempat yang cucok menikmati alam sambil menikmati pacar.
"Ayang sini aku pijitin. Pasti capek deh" tangan gue beraksi di bahunya.
"Ck, cuma gini doang. Lebih capek ngangenin kamu" Eciee... si sayang makin pinter aja deh mulutnya.
"Sayangku jadi pinter gini gombalinnya?"
"Latian jadi suami yang baik. Biar istriku selalu bahagia dan terhibur."
Duh, tersipu... "Aku juga latian jadi istri yang baik ini. Mijit-mijit kamu, sekarang bahunya dulu yang dipijit, besok-besok... em.."
"Em.. apa hayo?" si ganteng ngegoda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Horizon
FanfictionKhanza tetaplah Khanza. Wanita mesum dengan segala keabsurbannya kini siap menempuh hidup baru dengan lelaki pujaan hatinya. Bagaimanakah perjalanan cinta tentara seksi dan dokter centil itu? Cerita sequel dari CAKRAWALA