Empat Puluh Tiga

7.5K 728 168
                                        

Ebola Hemorrhagic Fever, atau Ebola Virus Disease, pertama kali terdidentifikasi tahun sembilan belas tujuh puluh enam di dua tempat secara simultan, yaitu Yambuku, Republik Demokratik Kongo dan Nzara, Sudan Selatan. Itu yang gue baca di diktat mata kuliah gue beberapa tahun lalu. Angka harapan hidup pasien yang sudah terinfeksi bisa menyentuh perkisaran sepuluh persen. Yang sangat menakutkan dari virus ini adalah kemampuannya membelah diri sehingga menggumpalkan darah dan menghambat aliran darah menuju organ lain. Setelah kekurangan pasokan darah makan organ penting seperti ginjal, usus, hati, dan otak akan lumpuh dengan sendirinya. Kondisi inilah yang akhirnya menyebabkan kematian. Tidak heran ketika mewabah beberapa tahun lalu, World Health Organization menyatakan Darurat Kesehatan Dunia.

Obat? Cih..

Let me tell you something, obat-obat yang diberikan dokter itu sebagian besar tidak bersifat menyembuhkan. Apalagi berkaitan dengan virus. Dokter hanya akan meresepkan obat untuk menekan pertumbuhan virus, bukan membunuhnya. Yang bisa mengalahkan virus sebenarnya adalah imunitas tubuh kita masing-masing. Ya, manusia itu diciptakan dengan sangat sempurna. Secanggih-canggihnya obat, antibodi adalah benteng paling kokoh yang kita miliki untuk bertahan hidup.

Gue sudah sering melihat pertempuran antara manusia melawan penyakitnya sendiri. Ada yang sudah divonis dengan stage tertinggi, tapi nyatanya bisa bertahan hidup. Ada pula yang sudah diobati dengan berbagai cara tetapi tidak kunjung sembuh. Sebenarnya, kesembuhan itu ada di diri pasien sendiri, tergantung tekad mereka untuk sembuh.

Yang jadi titik permasalahannya adalah, manakah yang akan menang, penyakit ataukah perjuangan untuk sembuh?

"Lepasin Pah.. Lepasin Khanza.." gue terus meronta dari tadi. Air mata sudah banjir membasahi pipi. Yang ada di pikiran gue hanyalah segera menyusul suami gue. "Sat.. tolong.. lepasin gue Sat" karena kewalahan menenangkan gue yang langsung memasukkan baju ke koper dan mengambil visa untuk terbang ke Sudan, Papa memanggil Satriya dan Talitha. Mereka terpaksa mengikat gue ke ranjang karena takut gue bertindak bodoh.

"Sa, lo tenang dulu Sa. Kasihan bayi di perut lo" suara Talitha mencoba berkompromi.

"Gue mau nyusul Kendra. Gue mau ke sana. Tolong lepasin gue Ta, tolong..." gue merintih dan berurai air mata.

"Sa, lo tenangin diri dulu. Kendra sudah ditangani tenaga medis. Stagenya juga masih awal. Semua akan baik-baik aja"

"Gue ini dokter. Gue tau dengan jelas semua nggak akan baik-baik aja. Apanya yang baik-baik saja? Suami gue harus diisolasi, di daerah yang bahkan fasilitas kesehatannya jauh di bawah standar. Dan apa yang bisa dilakukan tim medisnya? Mereka hanya bisa menunggu dan menunggu saat suami gue berperang sendirian melawan virus di tubuhnya. Mereka hanya akan memberi obat untuk menekan pertumbuhan virus, memberi infus jika tubuh Kendra sudah dehidrasi, memberi obat tekanan darah jika darahnya tidak stabil, lalu mentrasfusi darah jika kekurangan darah. Penyakit ini belum ada obatnya Ta, belum ada... Bagaimana bisa gue cuma duduk diam di sini nggak ngelakuin apa-apa sementara ayah dari bayi di perut gue sedang berjuang antara hidup dan mati, jauh di sana?" entah sudah berapa banyak air mata yang tumpah, tapi tangis ini tak kunjung reda. "Jadi tolong.. lepasin gue.. Gue pengen nyusul Kendra, gue pengen ada di sampingnya." gue memohon-mohon.

"Untuk peralatan kesehatan, kita sudah mensuplainya dari sini. Papa jamin Kendra akan mendapatkan fasilitas terbaik. Dokter dari TNI juga sudah stand by di sana. Percaya sama mereka, Sa. Mereka orang-orang yang mumpuni" Papa menambahkan.

"Khansa juga dokter, Papa. Setiap hari Khansa mengobati pasien di rumah sakit, sekarang suami Khansa sendiri yang sakit. Bagaimana bisa Khansa cuma diem aja. Tolooong Pa, lepasin Khansa. Khansa mau ke sana.." gue meratap.

HorizonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang