"Pah.. tumben Papa main ke tempat Sasa" segera setelah pria yang sebentar lagi menyandang status sebagai kakek itu keluar dari mobil, gue berondong dengan pertanyaan.
"Main ke rumah cucu sendiri kok ditumben-tumbenin. Kan kangen cucunya" sahutnya masih sibuk dengan berbabagi barang bawaanya. Termasuk ransel besar ijo tua yang dulu sering dibawanya bertugas.
"Papa bawa baju banyak banget. Mau nginep?" gue berniat membawakan beberapa barang bawaanya namun ditolak oleh Papa.
"Nggak usah, itu berat. Biar Papa aja yang bawa" larangnya mengambil kembali kresek hitam yang baru mau gue angkat. "Cucu Papa kan mau launching. Ya Papa harus nginep dong" lanjutnya sambil berjalan menuju ke dalam rumah.
"Masih lama kali, Pa. Satu bulan kalau sesuai HPL. Nanti juga Kendra pulang sebelum lairan."
Mendengar nama suami gue disebut, Papa sepertinya membeku untuk beberapa detik.
"Kenapa, Pa?"
"Enggak" lelaki itu segera menggelengkan kepala, "Tumben rumah kamu rapi" sindirnya.
"Yaelah Papa. Khansa kan selalu rapi. Kendra tuh yang suka bikin berantakan. Handuk habis pakai dilemparin ke sofa. Baju kotor berantakan di sekitar mesin cuci. Piring bekas makan ditinggalin sembarangan. Nih buktinya, Kendra pergi rumah rapi" gue pamer sambil menjereng deretan gigi rapi gue.
"Halah pret! Kamu baju sendiri aja nggak tau disimpen dimana. Pasti abis panggil GoClean ini. Atau memperdayakan anak buah suami kamu?" ejek Papa.
Gue mesam-mesem, "Papa tau aja"
"Papa tidur di sini ya" lelaki itu menarik pintu kamar tamu dan menata barang-barangnya. Sementara gue pergi sebentar mencari sprei bersih untuk Papa.
"Nih Pa spreinya. Minggir dulu Sasa pasangin"
"Kamu beneran bisa masang sprei?" lelaki itu seolah tidak percaya.
"Ya enggak lah. Nanti Sasa sejadinya aja. Papa yang benerin" gue cengingiran.
"Kirain. Terus selama ini yang pasang sprei siapa? Suami kamu?"
"Ya iya dong. Kan mantu Papa serba bisa. Sprei dipasangin, lantai disapuin, makan dimasakin, piring dicuciin, Sasa tinggal santai-santai, gedein perut, sambil nodong duit bulanan." celoteh gue dengan mata berbinar-binar membicarakan betapa sempurna kehidupan gue sebagai istri.
"Kamu ini malu-maluin Papa aja. Masak jadi perempuan nggak bisa ngurus rumah" si Papa jewer lirih kuping gue.
"Aduh Papa. Jangan gini dong." gue selamatin kuping gue dari jari-jari maut Papa. "Kata Kendra perempuan itu bukan buat disakiti tapi disayang-sayang. Lah ini anak sendiri kok dijewer"
"Ya dijewer dong. Masak jadi istri kayak gitu."
"Nih ya Pa, Kendra bilang kewajiban istri itu hanya melayani kebutuhan suami yang nggak bisa diwakilkan ke orang lain, termasuk melahirkan anak dan harus selalu menghormati suami. Kalau nyiapin makan, beres-beres rumah, cuci pakaian itu namanya sunnah. Artinya apa? Dikerjakan mendapat pahala tidak dikerjakan tidak berdosa. Justru suami yang berkewajiban memenuhi kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya." jelas gue mengutip ceramah Pak Kyai Kendra Dananjaya. "Apalagi Sasa kan wanita karir, selama yang wajib sudah dikerjakan, yang sunnah dikerjakan semampunya aja. Begitu kata mantu Papa yang cakep luar biasa" tutup gue dengan penuh percaya diri.
"Pantesan kamu kepelet gitu sama suami kamu. Dua tahun disekolahin TK, enam tahun di SD, tiga tahun SMP, tiga tahun lagi SMA, kuliah nyampai ratusan Purnama, belum lagi les-les dan kursus tambahannya, begitu ketemu cinta langsung jadi goblok."

KAMU SEDANG MEMBACA
Horizon
FanfictionKhanza tetaplah Khanza. Wanita mesum dengan segala keabsurbannya kini siap menempuh hidup baru dengan lelaki pujaan hatinya. Bagaimanakah perjalanan cinta tentara seksi dan dokter centil itu? Cerita sequel dari CAKRAWALA