Tiga Puluh Delapan

6.1K 575 49
                                        

Pukul dua lebih lima belas menit dini hari.

Gue emang sering kebangun kalau tengah malam karena rasa tidak nyaman perut gue. Hal ini normal dikarenakan hormon ibu hamil yang kadang kala membuat nyeri dan begah di sana-sini. Tapi kali ini, gue terbangun dengan Mas suami yang masih belum tertidur. Dia terbaring di sisi gue, menopang kepalanya dengan satu tangan dan menatap wajah gue penuh sayang. Jangan bilang dia cuma liatin wajah cantik gue yang kayak putri khayangan ini semaleman? Aduh aduh sayangkuh, saking cintanya ya sama aku.. sampai segitunya lho. Padahal kan gue paling cantik kalau lagi orgasme, bukan lagi bobok. Mana ngiler gini lagi. Aduh, gue lap dulu ilernya biar nggak ngerusak suasana.

"Ayang belom tidur?" tanya gue lirih dengan suara serak khas orang bangun tidur. Satu tangan gue julurin ke lehernya, ngelus-elus tengkuk yang masih biru-biru karena ulah gue beberapa jam yang lalu.

Kendra hanya menggeleng. Diarahkannya bibir tebal itu ke lengan gue yang merangkul lehernya, kemudian satu kecupan mendarat di sana. "Kamu kebangun?" dia menaikkan alisnya.

"Pengen ke kamar mandi" ucap gue malas sambil mengangkat tubuh untuk berdiri. "Loh, kok ada ransel tentara kamu di sini? Apa aku lupa masukin?" gue mengingat-ingat sambil berjalan mendekat. 

"Lah ini kok ada isinya?" gue mulai membuka-buka ransel besar warna hijau dengan motif loreng-loreng itu. "Seragam kamu, baju-baju kamu, peralatan pribadi kamu di sini semua. Yang? Ini maksudanya apa?" tiba-tiba aja perasaan gue nggak enak. "Yang..!" nada suara gue meninggi meminta penjelasan.

Si sayang masih diem aja. Dia berjalan mendekat, memeluk gue erat, lalu membawa gue duduk kembali di atas ranjang. 

"Yang.. ngomong dong!" gue pukul-pukul lengannya tapi Mas suami malah mendekap gue makin erat. Kepalanya bersandar di perpotongan leher gue, menghirup wanginya dalam-dalam.

"Dari tadi aku pengen ngasih tau kamu tapi nggak tau harus mulai dari mana. Aku bener-bener bingung. Sampai kamu tertidur pun kata-kata ini masih nggak mau keluar dari mulut aku. Maaf.." rintihnya lirih di dekat telinga gue. 

Tiba-tiba tubuh gue lemes. Apakah hal yang paling gue benci akan segera terjadi? Oh God.. jangan dulu.

"Kamu mau pergi?" gue memberanikan diri angkat bicara.

Kendra terdiam beberapa saat. Dia semakin menenggelamkan wajahnya di ceruk leher gue. Kedua tangannya mendekap tubuh gue erat. 

"Cuma sebentar. Aku janji." 

Satu bulir air mata jatuh begitu saja. Gue meremas sprei sekuat tenaga. Dada ini rasanya sesak. Ingin menangis tapi gue tahu hal itu hanya akan sia-sia. Kendra akan tetap pergi dan gue tidak bisa menghentikannya.

"Kamu mau ninggalin aku sama dedek?" suara gue bergetar.

Dia menggeleng, "Aku cuma jauh secara fisik sama kamu. Bukan ninggalin sayang. Sebentaaar aja. Aku janji nanti kalau dedek lahir, aku bakalan nemenin di samping kamu. Ngrelain kepala aku dibejek-bejek saat kamu ngeden buat keluarin dedek. Bahkan, aku sendiri yang akan adzanin dedek. Aku janji"

"Perginya kemana?" gue masih nahan tangis.

Dia terdiam sejenak, menimang-nimang sesaat sebelum sebuah kata meluncur lirih dari mulutnya "Sudan"

Titik pertama air mata gue jatuh tanpa bisa ditahan. Sudan.. Satu negara di kawasan padang pasir Afrika. Daerah yang paling tidak gue inginkan untuk lelaki itu bertugas.

"Kapan?" suara gue bergetar.

"Habis subuh nanti aku dijemput"

Habis subuh? Itu berarti cuma ada sekitar dua setengah jam lagi sebelum jarak yang panjang memisahkan kita. Kali ini gue nangis. Nanggis sejadi-jadinya. Dada gue sesak dan nafas gue sesenggukan. Tangan gue mencengkeram erat bahu Kendra seolah-olah takut dia bisa menghilang kapan saja. Kenapa harus sekarang? Kenapa dia harus pergi di titik terlemah gue sebagai wanita. Kehamilan gue semakin membesar. Hari-hari yang melelahkan tanpa seorang suami untuk menemani gue membesarkan kandungan ini akan segera datang. Oh Tuhan... membayangkannya saja rasanya tidak sanggup.

HorizonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang