D-day...
Gue deg-degan. Rasanya bener-bener campur aduk. Seolah nggak percaya hari ini gue bener-bener mau kawin.. eh salah, nikah. Setelah seperempat abad lebih hidup sebagai putri semata wayangnya Papa, sekarang gue akan memulai babak kehidupan baru. Bukan sebagai anak lagi, tapi sebagai istri, pendamping hidup, dari seorang lelaki yang akan menjadi imam rumah tangga gue.
Hal ini berarti gue akan memiliki tanggung jawab baru. Dari yang semula menjadi makmumnya Papa, kini gue akan menjadi makmum lelaki lain, yaitu lelaki yang merupakan kunci surga bagi gue nantinya. Lucu ya.. setelah bertahun-tahun ditempa agar selalu berbakti sama orang tua, hanya dengan satu kalimat ijab qabul, bakti gue akan berubah untuk suami. Bukan Papa lagi yang harus paling gue patuhi, tapi suami.
"Tugas Papa sudah selesai." Abis make-up, gue ngobrol berdua sama Papa di kamar rias. Sengaja gue minta semua orang untuk keluar, gue pengen berduaan sama Papa, untuk terakhir kalinya sebagai makmum Papa. "Setelah ini hak Papa atas kamu akan digantikan orang lain"
Gue mewek. Padahal cuma mau nikah, bukan ninggalin Papa selama-lamanya. Abis nikah gue masih bisa ketemu Papa, gue masih bisa manja-manjaan sama Papa, gue juga masih bisa terus berbakti sama Papa. Tapi rasanya, ada ikatan antara gue sama Papa yang harus terputus sampai di sini. Ikatan antara seorang putri kecil dengan lelaki pertama yang hadir di hidupnya.
"Loh..loh.. kok nangis. Luntur itu make-up kamu, nduk" si Papa mengingatkan. Tapi apa mau dikata, gue nggak bisa nahan air mata ini untuk turun.
"Papa..hiks hiks.." gue menghambur ke pelukan Papa. "Maafin Khanza ya pa. Selama ini Khanza udah banyak bikin papa sedih, bikin Papa kecewa. Tapi Khanza sayang Papa.. sayaaang banget." si Papa nepuk-nepuk pelan bahu gue menenangkan. "Papa akan selalu menjadi kesayangan Khanza. Biar pun Khanza udah jadi istri orang, tapi nggak akan ada yang bisa gantiin Papa di hati Khanza"
Gue tahu mata Papa udah sembab, tapi lelaki itu masih pada prinsipnya, menangis bukanlah untuk seorang tentara. "Nanti selesai Papa ucapin ijab qabul, kamu udah jadi istri orang. Kamu punya imam baru. Dia yang nanti jadi pemimpin kamu. Dia yang nanti jadi surga buat kamu. Jadi istri itu kuncinya cuma satu, nurut sama suami. Ingat, prioritas kamu bukan untuk diri sendiri, bukan untuk orang tua, tapi untuk suami kamu. Papa akan jadi nomor dua. Nomor satu tetap suami kamu"
Gue menggelengkan kepala. Air mata turun semakin deras. Berbagai memori terputar lagi di kepala gue. Gimana bandelnya gue dulu hingga bikin Papa sering naik darah, gimana perjuangan Papa membesarkan gue seorang diri, jika bisa memutar waktu, gue pengen kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya. Gue nyesel.. kenapa waktu yang begitu banyak gue buang-buang begitu saja. Hingga hari ini, rasanya belum bisa gue membalas semua jernih payah yang sudah Papa lakukan untuk gue.
"Udah nangisnya. Sana dibenerin itu make-up. Papa keluar dulu. Acaranya udah mau dimulai" dan dengan satu usapan lembut di rambut, Papa berjalan keluar, bersiap mengikrarkan kalimat satu nafas yang mengantarkan gue ke gerbang kehidupan yang baru.
Papa.. di saat Khanza lahir ke dunia, Papa menguatkan Khanza dengan senandung adzan. Tidak peduli sakit dan lelah, Papa bentangkan jalan yang mudah tanpa Khanza harus bersusah payah. Sekarang, disaat Khanza sudah tumbuh dewasa berkat semua usaha Papa, Papa harus menyerahkan Khanza untuk dipinang lelaki lain, untuk menjadi makmum dari lelaki lain, untuk menjadi tanggung jawab lelaki lain.
Maaf Papa.. butuh waktu yang lama bagi Khanza untuk mengerti, mengapa Papa mati-matian menginginkan lelaki terbaik sebagai pendamping hidup Khanza.
I love you Papa.. I always do.
KAMU SEDANG MEMBACA
Horizon
FanfictionKhanza tetaplah Khanza. Wanita mesum dengan segala keabsurbannya kini siap menempuh hidup baru dengan lelaki pujaan hatinya. Bagaimanakah perjalanan cinta tentara seksi dan dokter centil itu? Cerita sequel dari CAKRAWALA