13. A Lonely Tiger

1.2K 125 44
                                    

Tak tahu mengapa, rasa ngeri bercampur sedih bercampur di dalam dada Jea. Kalau dibilang Mama Taehyung mati, tapi Mama mati saat Taehyung masih kecil, apa benar Taehyung yang masih kecil bisa membunuh mamanya sendiri? Dan, sedih kalau memang apa yang dikatakan Taehyung benar, selama ini Taehyung pasti benar-benar kesepian karena tak pernah merasakan kasih sayang seorang Ibu.

"Kau menangis lagi? Baiklah, aku bercanda," ujar Taehyung kemudian.

Tangis Jea berangsur padam, digantikan dengan senggukan kecil dan hidung memerah akibat kedinginan dan pilek. "Bagaimana kau bisa membunuh Mama?"

"Karena aku dilahirkan ke dunia."

Bukan. Dugaan Jea salah besar. Taehyung tidak benar-benar membunuh mamanya sendiri. Tapi Papa menyalahkan kelahiran Taehyung sebagai sebab kematian mendiang istrinya. Bahkan Papa membuat kamar khusus untuk mendiang istrinya sebagai rasa sedihnya yang teramat dalam.

Ternyata sejak kecil Taehyung butuh perhatian ....

Ternyata sejak kecil, Taehyung tidak memiliki kasih sayang sama sekali .....

Ternyata, Taehyung bukan 'gila' dari lahir. Tapi kegilaannya muncul akibat kelalaian Papa dalam mendidiknya ditambah pertemanannya dengan Sehun yang memiliki gangguan kejiwaan yang sama sekali bukan hal enteng.

Jea menangis sejadi-jadinya. Merasakan betapa kesepiannya diri Taehyung di rumah besar ini. Merasakan bahwa sebanyak apapun teman, kawan apalagi bawahannya, mereka tak bisa menggantikan sosok seorang figur orangtua di hatinya, bahkan sejak kecil!

"Taehyung, aku tak tahu, maafkan aku." Jea memeluk Taehyung dengan erat. Memaksa lelaki itu untuk masuk ke dalam dekapan badannya yang kecil. Mengusap-usap badannya yang penuh lebam dan ungu dengan perhatian. Menghirup dalam rambut kepala Taehyung yang wangi.

"Jangan dengarkan yang Papa katakan. Ia mengatakan hal apapun saat emosi," jelas Taehyung saat pelukan dari Jea mengendur. Gadis itu mengangguk dengan masih sesenggukan. Jea mengusap air mata serta hidungnya yang masih berair.

"Taehyung, aku tak akan menyalahkan. Tapi ... boleh aku bertanya tentang satu hal?"

"Apa?" Taehyung kini sedang membasuh lebam yang masih memerah di tubuhnya dengan handuk hangat.

"Mengapa kau membunuh mereka? Maksudku, selama ini kau memang suka menyiksa orang lain, namun tak pernah sekalipun kuendus nafsu membunuh."

"Kalau begitu kau tak benar-benar mengenalku, Jea."

Seketika itu juga, bulu kuduk Jea berdiri, saling bersitegang saat netra Taehyung menghujami dirinya sangat dingin, tak dapat dicerna, tak dapat dipahami, seolah dimantra.

Tubuh Taehyung perlahan maju, mencondongkan diri ke arah Jea dan dengan cepat berada di hadapan wajah Jea yang masih terkejut hingga kemudian ... gadis itu refleks mundur.

Taehyung tertawa sinis sambil berdiri dari kasur yang semula mereka duduki. "Kau takut padaku sekarang," ujarnya santai.

Jea menggelengkan kepala. Ia menatap Taehyung yang masih berdiri, menatapnya dengan mata rendah, terkesan sedih, dan entah mengapa hati Jea mencelos. "Tidak Taehyung, aku—"

"Pulang Jea. Aku sedang tak membutuhkanmu." Lelaki bermarga Kim tersebut keluar dari kamar dengan santai, meninggalkan Jea dengan sejuta pertanyaan serta sebuah perasaan janggal yang sangat dalam.

Takut?

Benarkah Jea takut pada Taehyung? Mengalahkan rasa sukanya?

***

"Jujur saja Kak. Aku sudah tidak kuat berada di perkumpulan aneh milik Kak Taehyung. Rasanya ... seperti aku masuk ke dalam kultus gila yang mengharuskanku untuk membunuh orang sebelum masuk ke kultus tersebut."

Psycho Scenario ░ Kth ░Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang