Part 6

2.3K 142 8
                                    

Setelah bertemu dengan Om Restu di restoran miliknya, aku jadi paham kenapa Tante Mira membiarkan keponakannya ini memakai sarung. Ternyata, Om Restu pernah tiga tahun menjadi santri di sebuah pesantren modern. Dia banyak bercerita tentang pengalamannya nyantri dua puluh tahun yang talu.

Meski cuma mondok saat SMA, tapi sikap Om Restu terlihat sangat ramah. Jika dilihat sekilas, aku tidak akan tahu Om Restu pernah menjadi santri karena penampilannya yang modis.

"Ih, Mbak, makan es krimnya kok sambil merem-merem gitu." Maya menatapku aneh, saat kami sedang menikmati es krim sambil menunggu Tante Mira di ruangan Om Restu.

"Mbak lagi menikmati es krimnya, May. Enak banget, hehe. Tahu nggak? Selama di pondok, Mbak nggak pernah makan es krim. Jangan kaget, ya? Di sana tuh minumnya air PDAM yang baru mengalir dari keran." Aku menjelaskan sambil menahan tawa.

"Hah?!" Maya terlihat terkejut mendengar ucapanku. "Nggak dimasak dulu, Mbak?"

"Enggak. Awalnya Mbak juga kaget. Tapi, ustadz bilang, katanya air itu sudah dikasih doa sama pak kyai. Jadi, banyak berkahnya. Kalo bahas masalah berkah, santri itu kebanyakan langsung berlomba-lomba meraihnya."

Aku ingat saat pak kyai menjelaskan definisi tentang berkah. Beliau berkata, "Berkah niku, tegese mundak-mundak kebagusan. Yen uripmu berkah, uripmu bakal tambah apik sekabehane."

(Berkah itu artinya bertambah kebaikannya. Jika hidupmu berkah, maka hidupmu akan bertambah baik segalanya.)

Dengan dalih tentang berkah, seorang santri saat melakukan segala perbuatan selalu hanya berkah yang dia harapkan. Berkah dari Kyai, berkah dari ilmu, berkah dari ibadah, dan berkah-berkah yang lain. Tak heran jika terkadang seorang santri tergopoh-gopoh berebut menyalami tangan seorang Kyai atau Nyai, tidak lain hanyalah untuk sebuah berkah. Berkah mencintai orang-orang yang berilmu.

"Maya, Atifa, apa yang kalian lakukan di sini?"

Tiba-tiba aku tersentak mendengar suara seorang wanita yang sangat familier menyapa kami. Begitu terkejutnya, es krim yang hampir masuk ke mulut pun terjatuh. Parahnya, es krim itu tumpah di jilbabku.

Ya ampun, bagaimana ini? Aku berusaha membersihkan es krim yang tumpah ke jilbab dengan cara mengusapnya. Namun, bukannya bersih jilbabku malah semakin kotor.

"I-ibu." Aku mendadak panas dingin.

"Ibu kok, di sini? Aku sama Mbak Atifa diajak Tante Mira, Bu." Maya menjelaskan sambil menatap Ibu.

Aku menunduk, tak berani melihat ekspresi Ibu yang memperhatikan penampilanku. Ini memang di tempat umum. Aku rasa Ibu tidak akan marah-marah. Tapi, bagaimana katika kami tiba di rumah, nanti? Ah, membayangkannya saja aku sudah merasa sesak napas.

"Dia siapa, Sis?" tanya seorang wanita yang datang bersama Ibu. Dia menatapku, setelah aku dan Maya menyalaminya.

Mendadak, raut wajah Ibu terlihat bingung. Mungkin, Ibu malu jika sampai temannya tahu kalau aku menantunya.

"Dia keponakanku, Jeng."

Tante Mira yang baru datang langsung menjawab pertanyaan dari wanita modis itu. Seketika, aku bernapas lega. Aku senang Ibu tak perlu berbohong untuk menjelaskan statusku.

"Yakin keponakanmu, Mir? Kok, nggak kaya Maya?" Wanita itu melihatku dari atas ke bawah.

Aku hanya bisa kembali menunduk. Mungkin wanita itu sedang menilaiku dari penampilan.

"Apa kamu punya keponakan dari kampung?" Wanita itu tersenyum simpul. Entah apa maksud dari senyumannya itu. Namun, kulihat raut wajah Ibu kian terlihat kesal.

Ibu Mertuaku CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang