Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, kami memasuki halaman luas di depan sebuah rumah yang cukup besar. Di depan rumah terdapat bermacam-macam bunga seperti di rumah Ibu. Sedangkan di bagian samping, ada beberapa pohon mangga dan kelengkeng yang aku tak paham jenisnya. Namun, meski terdapat banyak pohon, di bawahnya terlihat bersih tanpa ada daun yang berserakan.
Ibu berjalan lebih dulu menuju teras. Aku mengikuti di belakangnya. Bahkan, dari belakang pun Ibu terlihat sangat cantik. Tak tampak di mataku Ibu telah memiliki dua anak yang telah sama-sama dewasa. Oh iya, sekarang, Ibu juga sudah punya menantu.
"Oh, jadi ini cucu kebetulanku?" Seorang wanita berusia lanjut yang menyambut kami, melontarkan pertanyaan itu.
Cucu kebetulan. Apa maksudnya? Aku menghampiri wanita itu. Wanita yang masih terlihat cantik meski terdapat beberapa guratan keriput di wajahnya. Tepat ketika kami berhadapan, aku meraih tangannya dan mencium dengan takzim.
"Siapa namamu?" tanyanya kemudian. Seperti Ibu, suaranya pun terdengar tegas. Kuyakin wanita di hadapanku ini ibunya Ibu.
"Atifa, Mbah." Aku menjawab ramah sambil tersenyum.
"Apa, Mbah?! Kamu pikir aku dukun? Panggil Oma Tika!"
Oh, ya Alloh. Aku sedikit tersentak mendengar suara Oma. Nada suaranya meninggi seperti Ibu yang sering memarahiku. Apa ada yang salah dengan panggilan 'Mbah'? Oma sama Mbah kan, sama saja. Ternyata ibunya Ibu sama persis seperti Ibu. Sama-sama galak.
"I-iya, Om. Eh, Ma. Oma maksudku." Aku menggigit bibir bawah.
Duh, kenapa aku jadi belibet begini? Mana netra Oma tampak membulat lagi.
"Ayok, masuk!" Nada suara Oma masih terdengar kesal.
Aku dan Oma memasuki rumah dengan ruang tamu yang cukup luas. Sesaat, aku mengedarkan pandangan takjub. Sungguh sangat berbeda dengan rumah simbahku di Cilacap yang sebagian dinding atasnya masih menggunakan kayu. Sementara, lantainya hanya ditutup dengan adonan semen tanpa keramik.
Oma mengajakku menuju ke ruang tengah. Di sana, aku melihat Ibu yang sedang berbincang dengan seorang wanita muda yang cantik dan tentu saja penampilannya terlihat modis. Sedangkan di sofa lain, ada seorang laki-laki yang sedang memainkan ponsel. Tubuhku yang sedari tadi sudah panas dingin menghadapi Oma, sekarang terasa seperti menggigil.
Ngapain sih, Mas Danish di sini? Aku kan, jadi tambah bingung.
"Jadi ini, Nish, istri yang kamu bilang kampungan, dekil, dan kucel itu?"
Deg. Hatiku terasa terempas mendengar ucapan wanita di sebelah Ibu.
Kasar sekali, Ya Tuhan. Tapi, kalimat itu memang benar adanya.
"Cantik begini kok, dibilang jelek."
Eh, apa aku nggak salah dengar? Wanita yang tadi berkata buruk tentangku, sekarang justru melempar pujian. Refleks, aku tersipu. Hati memang cepat sekali berubahnya.
Sekilas, aku melihat Mas Danish yang juga sedang menatapku. Mata kami beradu pandang untuk beberapa detik, sebelum kemudian kami sama-sama memalingkan wajah. Rasanya enggan untuk melihat wajah laki-laki sombong yang tega menghina istrinya sendiri. Ya, walaupun dia tak mengakuiku sebagai istri, sih.
"Halah, secuil upil meski terlapisi emas, tidak akan merubah upil itu jadi emas, Tante!" Mas Danish berseru, lalu berdiri dan meninggalkan kami. Dia beranjak menaiki anak tangga.
Lihatlah laki-laki arogan itu. Dia suamiku yang bahkan kami belum pernah bersalaman setelah menikah hampir seminggu.
'Ishhh, jahat sekali dia. Emangnya dia tampan apa? Iya sih, sedikit.' Aku merutuk dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Mertuaku Cantik
RomanceAtifa Salsabila, gadis bersarung dari pesantren salaf di Cilacap yang memilih sarung sebagai pakaian santri kebanggaannya. Namun, dia harus bersedia mengubah penampilan saat terpaksa menikah dengan Danish, laki-laki temperamen yang kerap kali bersik...