Hari ini, sepulang kuliah, aku pergi bersama Indah ke sebuah toko buku yang terletak di sekitar perempatan Condong Catur. Sebuah toko buku yang sangat asri karena bangunannya yang masih menggunakan kayu. Tetapi, banyak yang bilang kalau buku di toko ini lengkap dan harganya sedikit lebih murah daripada toko buku lain. Kalau ada yang lebih murah dengan kualitas sama, untuk apa mengeluarkan uang untuk harga yang lebih mahal? Ah, bukankah pikiran wanita begitu realistis? Saking realistisnya, selisih lima ratus saja sudah dikejar.
Selang sepuluh menit setelah memasuki toko buku, Indah pamit untuk menemui temannya yang sudah menunggu di luar. Sementara, aku masih asyik melihat beberapa buku sampai berjam-jam lamanya. Mulai dari buku ilmu pengetahuan umum, agama, filsafat, tata boga, juga novel. Dulu, saat masih di pondok, aku bisa menyelesaikan membaca novel tebal dalam waktu satu hari. Tolong jangan tanya, di pondok mau ngaji apa mau membaca novel? Membaca novel hanya sedikit hiburan, tapi merasa wajib untuk menyelesaikan.
Setelah menemukan sebuah buku untuk referensi belajar dan sebuah novel berjudul 'Mengintip Surga,' aku bergegas menuju kasir. Namun, karena asyik membaca sinopsis yang tertulis di belakang novel sambil berjalan, tak sengaja aku menabrak seseorang. Tanpa pikir panjang, aku pun segera meminta maaf pada laki-laki berkemeja warna merah hati yang berdiri membelakangiku.
"M-maaf, aku nggak sengaja." Aku menjadi tergagap, saat laki-laki itu membalikkan tubuhnya.
"No problem." Laki-laki itu menjawab ramah dengan senyum menawannya yang berhasil merebut perhatian sebagian besar mahasiswi di kampus. Tanpa sadar, kali ini senyuman itu pun membuat hatiku berdegup kencang.
Laki-laki yang tak lain Pak Firman, membungkuk dan mengambil novelku yang terjatuh saat menabraknya. Entah kenapa rasanya gugup sekali bertemu dengannya. Mungkin aku merasa takut jika dia mengajak ngobrol dengan bahasa Inggris. Ah, bisa-bisa aku mati berdiri dibuatnya.
"What are you doing here, Atifa?"
Allohu Kariim, ternyata benar dugaanku. Sebenarnya, aku tahu apa yang Pak Firman ucapkan, tapi bagaimana aku menjawabnya? Lidahku terasa kelu, takut dia akan tertawa jika mendengar aksen ataupun jawaban salah.
"Ehm ... anu, itu ...."
Haish! Jawaban macam apa itu? Payah sekali. Tinggal bilang "I'm looking for a book" apa susahnya coba? Kenapa lidah ini begitu kelu?
"Sudah lupakan. Kebetulan kita bertemu di sini. Ada yang ingin saya bicarakan." Pak Firman mendadak mengubah bahasanya, setelah terkekeh. Menyebalkan, bukan?
"Bi-bicara apa, ya?
"Tidak di sini, Fa. Di sebelah ada kafe. Kita bicara di sana. Sekalian makan siang. Bagaimana?"
Di kafe? Makan siang? Oh, Tuhan. Apa yang harus kukatakan untuk menolak, tapi yang tidak membuatnya kecewa? Aku perempuan yang sudah bersuami. Rasanya tidak etis bepergian dengan laki-laki yang bukan mahram. Meskipun, suamiku tak pernah memedulikannya.
"Di kafe ada banyak orang. Jadi, kita nggak cuma berduaan." Pak Firman menambahi, seperti memahami kekhawatiran yang sedang kurasakan.
"Ehm, baiklah. Tapi, saya ke kasir dulu."
Mendengar demikian, bukannya memberikan novel yang masih dia pegang, Pak Firman malah mengambil buku yang ada di tanganku. Apa maksudnya? Aku tidak pernah tahu kalau laki-laki yang selama ini terlihat begitu maskulin, ternyata bisa bertindak seperti ini.
"Biar saya yang bayar sekalian."
"Ta-tapi, ...." Belum selesai ucapanku, laki-laki itu sudah berlalu menuju kasir.
Setelah membayar, laki-laki berwajah tampan yang menjadi idola banyak gadis itu kemudian memintaku untuk mengikutinya. Sedangkan buku dan novel yang tadi di bayarkannya, masih dia tenteng dalam sebuah plastik berwarna biru turkis. Entah kenapa dia tidak memberikannya saja padaku. Apa mungkin dia takut aku kabur?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Mertuaku Cantik
RomanceAtifa Salsabila, gadis bersarung dari pesantren salaf di Cilacap yang memilih sarung sebagai pakaian santri kebanggaannya. Namun, dia harus bersedia mengubah penampilan saat terpaksa menikah dengan Danish, laki-laki temperamen yang kerap kali bersik...