"Dia anak saudara jauhnya Ibu, Ton." Mas Danish tiba-tiba memotong ucapan temannya.
Ternyata benar dugaanku. Mas Danish memang tidak ingin ada yang tahu tentang statusku sebagai istrinya. Meski aku sudah merubah penampilan pun, dia masih enggan mengakui pernikahan kami.
"Wah, kayaknya kita emang ditakdirkan buat jadi saudara deh, Tan." Anton tersenyum lebar. Dia menatapku lekat. "Ehm, Bismillah. Adek, pengen nikah sama adat mana?"
"Kuliah dulu yang bener, Ton. Kalau udah sukses, baru ngomongin nikah." Ibu menasihati.
Mas Anton terkekeh. "Hehe, siap, Tante."
Mas Danish gegas memakai helm, lalu buru-buru melajukan motornya, mengabaikan obrolan kami. Dia juga tak menghiraukan panggilan Mas Anton yang meminta ditunggu.
Aku bergeming, menatapi punggung Mas Danish yang menghilang di balik pagar dinding. Apa mungkin dia kesal dengan ucapan Ibu barusan? Ibu menasihati Mas Anton supaya sukses lebih dulu sebelum menikah. Sementara, dia justru dipaksa menikah ketika masih kuliah.
Ibu melajukan mobilnya. Selang hampir setengah jam, kami pun tiba di halaman kampus.
"Ingat, Fa, kamu ke sini buat belajar. Bukan buat tebar pesona." Ibu mengatakan itu ketika aku melepas sabuk pengaman.
Aku mengangguk, lantas meraih tangan Ibu untuk bersalaman. Tak lupa, aku menciumnya takdim. Setelahnya, aku gegas menuju kelas.
Sebenarnya, aku sedikit heran. Jika Ibu terlalu takut menantunya ini tebar pesona, lalu kenapa Ibu memintaku supaya berdandan modis?
Aku tidak berniat sedikit pun tebar pesona. Semoga saja aku bisa menjaga kepercayaan Ibu.
Di depan kelas, aku bertemu dengan Indah. Teman yang kukenal saat ospek, kemarin. Dia gadis yang cantik dengan kulit putih dan hidung yang agak mancung. Tubuhnya yang sedikit berisi, kurasa tak mempengaruhi kecantikannya. Rambut bergelombangnya selalu dia biarkan tergerai di atas bahu. Umurnya dua tahun lebih muda dariku. Seperti Maya.
Kami memasuki ruang kelas dan memilih duduk berdekatan di dekat dinding. Saat ini, hanya Indah satu-satunya teman yang dekat denganku. Sedang yang lain, belum terlalu kenal.
"Hay, aku Wina. Kalian siapa?" Seorang gadis berkulit sawo matang yang duduk di depan kami, memberi sapaan.
"Atifa."
"Indah."
Aku menyalami gadis itu. Indah juga mengikuti.
Beberapa menit kemudian, seorang laki-laki berwajah oriental dengan tubuh yang jangkung memasuki ruangan kami. Dia mengenalkan diri sebagai Pak Firman. Minggu lalu, umurnya genap dua puluh delapan tahun dengan status lajang. Wajahnya tampak teduh dengan cara berbicaranya yang ramah.
"Do you have a girlfriend, Sir?"
Pertanyaan dari seorang mahasiswi yang duduk di barisan paling depan, sontak mendapat sorakan dari mahasiswa lain. Suasana kelas pun seketika ramai.
Di depan sana, Pak Firman terlihat salah tingkah. Dia tersenyum malu-malu.
"If you don't have a girlfriend, can i register?" Mahasiswi itu melanjutkan.
Aku dan Indah saling berpandangan. Aku memang tidak pandai bahasa inggris. Tapi, sedikit tahu mahasiswi itu menanyakan apa.
"Wow, your accent is very nice. I hope all the students here, can be as fluent as you. Come on, let's give applause to appreciate it." Pak Firman mengatakan itu, lalu bertepuk tangan. Diikuti juga oleh mahasiswa lain.
Aku yang tidak paham, ikut saja bertepuk tangan. Dari pada ketinggalan kan, repot. Haha.
Selesai memperkenalkan diri, Pak Firman memulai pelajaran dengan memberikan materi dasar. Cara mengajar yang diberikannya cukup santai dan menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Mertuaku Cantik
RomanceAtifa Salsabila, gadis bersarung dari pesantren salaf di Cilacap yang memilih sarung sebagai pakaian santri kebanggaannya. Namun, dia harus bersedia mengubah penampilan saat terpaksa menikah dengan Danish, laki-laki temperamen yang kerap kali bersik...