Part 8

2.4K 151 6
                                    

Suasana rumah sepi. Semua orang memiliki urusan masing-masing. Tinggal aku, Maya, dan Mbak Rumi saja di rumah. Tapi, Maya masih terlelap dalam tidurnya.

Saat seperti ini, rasanya aku jadi kangen pondok. Jam segini, kami biasanya sedang bersiap-siap mengaji quran sama Bu Nyai.

Bosan hanya tiduran dan bermain ponsel, aku memutuskan ke lantai bawah. Terlihat Mbak Rumi membawa kain pel.

"Mbak Rum, aku saja yang ngepel, ya? Mbak Rumi nyetrika atau ngapain kek, nyelesein kerjaan lain," ucapku, mendekati Mbak Rumi.

"Nanti dimarahin Ibu, lhoh, Mbak." Mbak Rumi terlihat sungkan.

"Ibu kan baru saja ke butik, Mbak. Ayah juga pergi ke kampus dari pagi. Maya lagi tidur. Mas Danish main ke rumah temannya. Nggak ada yang tahu, kok."

Aku mengambil kain pel dari Mbak Rumi, lalu mulai mengepel dari ruang tamu sampai ke ruang tengah. Ini pekerjaan yang dulu biasa kulakukan saat roan bersama teman-teman di pondok. Seminggu sekali, kami selalu diberi tugas untuk membersihkan pondok, halaman, masjid dan kamar mandi. Beberapa dari kami juga ada yang bertugas membersihkan rumah Pak Kyai. Hal itu membuatku terbiasa mengepel ruangan yang cukup besar.

Bugggghhhh.
Pyaaarrrr.

Saat aku membersihkan lantai dapur, tiba-tiba terdengar suara benda berat yang terjatuh dan disusul barang pecah di ruang depan.

"Ruuumii!!!"

Ya Kariim. Itu suara Ibu.

Tanpa pikir panjang, aku bergegas menuju ke arah suara untuk melihatnya. Betapa terkejutnya saat aku melihat Ibu memegangi pinggangnya dengan pakaian yang sedikit basah.

Guci kesayangan Ibu pecah. Apa Ibu terpeleset karena lantai yang masih basah? Matilah aku jika itu benar.

"Ibu kenapa, Bu?" tanyaku dengan khawatir dan berusaha membantunya untuk berdiri.

"Kamu lupa, Rum?! Sudah berapa kali aku bilang? Bersihkan lantai jangan sampai ada air yang tersisa. Apa kamu sengaja bikin aku terpleset? Gara-gara kamu, guci kesayanganku pecah!!" Ibu membentak Mbak Rumi yang baru saja datang.

"Maaf Bu, tapi--" Mbak Rumi menatapku.

"Aku yang ngepel, Bu. Aku minta maaf. Aku bener-bener nggak sengaja." Aku memotong penjelasan Mbak Rumi dengan jantung yang detakannya seperti genderang ditabuh.

Mendengar penjelasanku, Ibu sontak mengempaskan tanganku yang memapah lengan dan pinggangnya.

"Rumi nyuruh kamu ngepel?" Ibu bertanya dengan menatap tajam ke arahku.

"Enggak, Bu. Ini kemauanku sendiri. Tolong maafkan aku."

"Aku tidak pernah menyuruhmu mengerjakan pekerjaan rumah. Untuk apa kamu melakukannya?" Suara Ibu meninggi.

Aku tak menjawab. Lidahku sulit bergerak saking takutnya.

"Punya menantu satu saja sudah menyusahkan setengah mati. Apa lagi kalo sepuluh?! Anak perempuan kok, bandelnya minta ampun. Ngeyelan!"

Ibu berjalan tertatih, berlalu menuju kamar sambil terus marah-marah. Aku ingin sekali memapahnya, tapi Ibu menolak. Ibu menepis tanganku kasar.

"Disuruh manut saja nggak pernah mau nurut. Selalu saja membangkang! Boro-boro bisa bikin seneng. Yang ada bikin pusing setiap hari."

Samar-samar, aku masih mendengar umpatan-umpatan Ibu di dalam kamar. Sementara, aku dan Mbak Rumi membersihkan pecahan-pecahan guci yang berserakan. Lagi pula, bukannya tadi Ibu baru saja pergi? Kenapa sekarang sudah kembali?

Apa semua Ibu mertua memang seperti Ibu? Ah, mungkin ini memang salahku. Karena sebelum Ibu pergi, dia sudah memintaku dan Maya untuk istirahat yang cukup setelah beberapa hari mengikuti ospek di kampus. Sementara, siang nanti, kami harus perawatan agar besok pagi bisa kembali segar saat hari pertama kuliah. Bodohnya, aku malah ngeyel dan menawarkan diri untuk membantu Mbak Rumi.

***

Ini hari pertamaku masuk kuliah setelah ospek pekan lalu. Aku memakai gamis berwarna biru dongker dan jilbab pashmina warna senada. Semantara, untuk wajah, aku hanya menyapukan bedak secara tipis dan memakai lipstik warna nude. Sekarang, aku sudah sedikit tahu war-warna lipstik berkat bantuan Maya. Semoga saja Ibu tidak marah melihat penampilan ini, setelah kejadian lantai basah hari kemarin.

Aku menuruni anak tangga dan duduk di sofa ruang tamu sambil menunggu Ibu. Semalam, Ibu bilang akan pergi ke butik sekalian mengantarku ke kampus, karena arah tujuan kami sama. Itulah hebatnya Ibu. Emosinya bisa hilang secepat angin yang berlalu. Namun, juga bisa datang secepat kilat yang menyambar.

Jurusanku yang berbeda dengan Maya, membuat jadwal kuliah kami juga berbeda. Tetapi, ada juga beberapa jadwal yang sama.

Kata Ibu, saat aku tak bisa berangkat dengan Maya atau Ayah, Ibu yang akan mengantar. Pulangnya, aku harus memesan ojek online. Sebenarnya, Ayah sudah menawari membeli motor. Tapi, apalah dayaku yang menghidupkan mesinnya saja tak bisa. Maya memang menawarkan diri untuk mengajari, tapi tetap saja hati masih merasa takut.

Ting tong. Ting tong.

"Da...Nish, ada?" Sorang laki-laki dengan mulut ternganga menanyakan itu, saat aku membukakan pintu.

"Ada. Sebentar, ya?" Aku siap meninggalkannya untuk memanggil Mas Danish.

"Tu-tunggu." Laki-laki itu menghentikanku.

Aku berhenti dan membalikkan tubuh, saat laki-laki berkulit sawo matang dan berhidung mancung itu perlahan mendekat. Dia tersenyum, lalu mengulurkan tangan.

"Kenalkan. Namaku Anton. Aku sering kesini, tapi belum pernah melihat bidadari secntik kamu."

Aku mengernyit.

"Ah, maksudku belum pernah melihat kamu. Kalau boleh tahu, namamu siapa?"

Aku bergeming mendapati uluran dari tangan laki-laki asing yang memperkenalkan diri sebagai Anton. Aku ragu meraih tangannya lalu berkenalan.

"Namaku Danish."

Tiba-tiba tangan kuning langsat Mas Danish terulur, menjabat tangan temannya saat aku akan mengatupkan kedua tangan di depan dada. Sontak, Mas Anton terkejut dan mengempaskannya.

"Apa sih, Dan?! Ganggu ajah, deh."

Mas Anton mengulurkan tangannya lagi. Sedangkan, Mas Danish pun menyambutnya lagi. Aku tidak tahu kapan Mas Danish datang. Tahu-tahu, dia sudah di belakangku.

"Udah. Ayok, berangkat!"

Mas Danish menarik tangan temannya untuk pergi, tapi Mas Anton masih terus berusaha melihatku. Aku tidak tahu kenapa Mas Danish bersikap demikian. Mungkin dia tidak ingin temannya mengetahui kalau gadis kucel ini adalah istrinya.

Eh, enggak kucel lagi, ding. Sekarang, kurasa kulitku sudah terlihat sedikit lebih terang dari pada sebelumnya. Hehe, bukan GR lhoh ya, ini. Soalnya Mbak Rumi juga bilang begitu.

"Ayo, berangkat, Fa?" Ibu mengatakan itu sambil berjalan melewatiku. Seperti biasa, hari ini pun Ibu terlihat sangat cantik dan elegan.

Aku berjalan di belakang Ibu untuk menuju mobil. Saat kami sampai di halaman depan, ternyata Mas Danish dan temannya masih ada di sana. Mereka sedang berdiri di samping motor masing-masing.

Melihatku dan Ibu keluar dari rumah, Mas Anton lekas menghampiri kami dan bersalaman dengan Ibu. Dia menyapa ramah, lalu menanyakan kabar. Sepertinya, Mas Anton memang benar sering ke sini. Lihat saja, Ibu terlihat akrab dengannya.

"Ini siapa, Tante?" Mas Anton bertanya pada Ibu, tapi matanya melirik ke arahku.

"Ini ...." Ibu menggantung kalimatnya.

Sesaat, aku melihat netra Ibu, lalu beralih ke Mas Danish. Ternyata, dia juga melalukan hal serupa. Dari raut wajah, kulihat dia seperti khawatir.

Ibu Mertuaku CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang