Selesai mengganti pakaian dan membungkus tubuh dengan selimut tebal, aku meminum karamel hangat yang di buatkan Mbak Rumi.
Sambil memijat kakiku, Mbak Rumi bercerita tentang Ibu yang panik mendengar teriakannya. Tanpa pikir panjang, Ibu langsung masuk ke kolam untuk menyelamatkanku. Padahal waktu itu, Ibu sudah siap berangkat ke butik.
Tiba-tiba ada rasa haru yang menyeruak, saat mendengar Mbak Rumi menceritakan hal itu.
"Lalu, Mas Danish meletakkan kedua tangannya yang ditumpuk di dada Eneng. Terus menekan-nekannya, tapi nggak ada respon. Pas mau ngasih napas buatan, lha kok, malah Eneng bangun."
Mbak Rumi bercerita sambil terkekeh. Aneh sekali. Apa ada yang lucu? Seharusnya dia senang karena aku sadar. Tapi dia justru seperti kecewa. Memang apa yang Mbak Rumi harapkan? Jangan bilang dia berharap Mas Danish mencium bibirku.
Tunggu. Mbak Rumi bilang, Mas Danish melakukan CPR? Dia pasti melakukannya karena perintah Ibu. Bukan karena keinginannya sendiri. Kurasa tidak mungkin dia khawatir dan berniat menyelamatkanku.
"Sudah enakan, Fa?" Ibu bertanya dari ambang pintu, lalu ikut duduk di tepi ranjang.
Aku mengangguk. Sementara, Mbak Rumi pamit kembali ke dapur.
Kupandangi wajah cantik Ibu yang sudah terlapisi lagi dengan make up. Meski Ibu sering sekali membentakku dan mengatakan bodoh, tapi di hatinya tersimpan kebaikan yang tak pernah terbayangkan.
Benar kata Maya. Ibu itu aslinya sangat baik.
Entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba aku menyingkapkan selimut dan memeluk tubuh Ibu dengan sangat erat. Ibu sebenarnya meronta, memaksa aku melepaskannya. Tapi aku bergeming. Bahkan tangan ini malah kembali mengeratkan pelukan.
"Terima kasih, Bu. Sudah bersedia menjadi ibuku. Terima kasih."
Air mataku mengalir dengan sangat deras, membasahi baju Ibu yang baru saja digantinya. Memeluknya seperti ini, rasanya nyaman sekali. Kepedihan karena merindukan sosok seorang ibu yang selama ini tak pernah kudapatkan, kini terbalas. Biarlah setiap hari dimarahinya, asal dia bersedia menjadi ibu untukku.
"Hey! Apa tenggelam membuatmu jadi gadis cengeng?!"
Tak kudengarkan lagi umpatan yang Ibu ucapkan. Nyatanya, Ibu sedang mengusap lembut bahuku.
Aku tersenyum di sela tangis. Di depan pintu, kulihat Mas Danish melintas. Sesaat, dia menjatuhkan tatapan ke arah kami, sebelum kemudian beranjak.
"Sudahlah, Ibu ada janji bertemu teman. Istirahat yang cukup."
Ibu melepas pelukan dengan paksa, lalu beranjak meninggalkanku yang masih haus akan pelukannya. Sempat kulihat kelopak mata Ibu mengembun, sebelum punggungnya perlahan menghilang di balik pintu.
[Dik Salsa, perasaan Mas nggak enak. Kamu baik-baik saja?]
Nada notifikasi terdengar, mengalihkan perhatianku. Sebuah pesan dari Mas Dosen terpampang di layar ponsel.
Apa Mas Dosen bisa merasakan saat aku terkena musibah? Laki-laki itu kenapa begitu peka? Apa sebenarnya dia jodohku? Ah, apa yang aku pikirkan? Baru diperhatikan begitu saja sudah baper. Dasar aku!
[Aku baik-baik saja, kok, Mas.]
Aku mengirimkan kalimat itu sebagai balasan. Setelahnya, aku mematikan sambungan data, lalu menaruh ponsel di atas nakas. Kembali kurebahkan tubuh, lalu memejamkan mata.
Sekilas, terbayang sosok Mas Danish yang tadi menggendongku. Debaran halus kembali terasa menyapa dada. Mungkin jantungku masih belum stabil usai tenggelam tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Mertuaku Cantik
RomanceAtifa Salsabila, gadis bersarung dari pesantren salaf di Cilacap yang memilih sarung sebagai pakaian santri kebanggaannya. Namun, dia harus bersedia mengubah penampilan saat terpaksa menikah dengan Danish, laki-laki temperamen yang kerap kali bersik...