Part 10

2.6K 169 4
                                    

Kalau kamu pikir setelah Ibu memelukku, hubungan kami lantas menjadi hangat, kamu salah. Setelah pelukan itu, Ibu bahkan memarahiku sambil mengatai cengeng.

Waktu itu, aku juga berpikir hubungan kami menjadi lebih hangat. Setidaknya, Ibu tidak marah-marah lagi. Nyatanya, sore kemarin, aku menyirami bunga di depan rumah dengan memakai sarung, Ibu marah-marah lagi.

Jadi wanita itu nggak boleh lemah. Kalau ada masalah, hadapi, lalu selesaikan. Jangan malah nangis. Begitu kata Ibu, setelah kemarin melepas pelukannya.

Belakangan, aku tahu sebelum Ibu menemuiku sore itu, Maya mengatakan kami baru saja bertemu Mbak Nelly. Apa mungkin Ibu juga tahu kalau Mas Danish memiliki hubungan dengan gadis lain? Bahkan, sebelum menikah denganku.

"Hallo, Tante Cantik."

Aku, Maya, dan Ibu seketika menoleh, mendengar suara seorang laki-laki menyapa. Berjalan mendekati kami, Mas Anton seraya menenteng tas. Sedangkan, Mas Danish gegas menaiki anak tangga.

Dalam satu minggu ini, aku sudah berusaha tak peduli dengan hubungan Mas Danish dengan Mbak Nelly. Aku tidak berharap lebih. Sejak awal, aku memang orang ke tiga di hubungan mereka. Bukankah aku harus tahu diri?

"Hallo, Maya. Hallo, Dek Aatiifaa." Mas Anton melanjutkan sapaannya.

Ibu dan Maya balik menyapa. Sementara, aku hanya tersenyum tipis.

Mendadak, Ibu mematikan televisi. Padahal, aku dan Maya sedang fokus menonton drama terbaru dari negeri gingseng.

"Kok, dimatiin tivinya, Bu?" Maya protes. Tentu saja aku mendukungnya, dalam hati. Karena aku juga masih ingin menonton.

"Nggak menarik dramanya, May." Ibu menggapi.

"Ih, lagi seru-serunya kok, Bu."

Kali ini, Ibu tak lagi menanggapi protes Maya.

"Ton, kamu masih mondok?" Ibu beralih menanyai Mas Anton.

"Masih, Tan. Bapak belum nge-ACC aku buat ngekos," jawab Anton.

"Atifa juga pernah mondok." Ibu melihatku.

Aku menatap bingung ke arah Ibu. Kenapa Ibu tiba-tiba membahasku? Aneh menurutku. Apalagi, Ibu membicarakannya dengan teman anak laki-lakinya.

"Oh, ya? Wah, sepertinya aku emang cocok nih, Tan, sama Atifa. Hehe." Anton menegapkan tubuhnya. "Mohon doa restunya ya, Tan?"

Aku menghela napas. Sedikit tak nyaman.

"Nanti lah, tante pikirkan. Biasanya kalo santri pinter sholawatan kan, Ton? Coba, Tante minta bukti. Atifa juga suka sholawatan. Iya kan, Fa?"

Lagi, Ibu menatapku. Aku benar-benar tak mengerti kenapa tiba-tiba Ibu membicarakanku di depan Anton. Tidak mungkin kan, Ibu ingin mendekatkan kami? Terpaksa, aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan Ibu.

"Iya, Kak Anton. Tiap malem, aku sama Mbak Atifa suka dengerin sholawat di HP, sebelum tidur." Maya menjawab antusias.

"Ahsiap! Tuan Putri Atifa, mau sholawatan yang judulnya apa?" Mas Anton menatapku.

Aku benar-benar merasa tak nyaman. Apalagi mendengar panggilan Mas Anton. Namun, saat aku melihat Ibu, dia justru mengangguk, seolah menyuruhku menanggapi Mas Anton.

"A-apa saja, Mas." Aku sampai tergagap menanggapi.

Kulihat, Ibu sekilas mengarahkan pandangannya ke lantai atas. Ketika aku mengikutinya, ternyata ada Mas Danish di sana. Tak dapat dihindari, tatapan kami pun bertemu sekian detik.

Aku buru-buru menunduk.

"Oke, Tuan Putri." Mas Anton mengambil napas, lalu mulai mengalunkan sholawat.

Ibu Mertuaku CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang