Bab 4

3.7K 610 170
                                    

Jangan terlena atas nama cinta, hingga korbankan keperawanan sebagai harga matinya.

Aneska Kyla, atau biasanya dipanggil Aneska ini terlihat kesal sekembalinya dari supermarket. Seplastik pembalut yang dia beli tadi langsung ia lemparkan begitu saja ke atas meja tamu tanpa memerdulikan ada ayahnya di sana.

Gadis kelas 3 SMA itu entah mengapa merasa marah atas apa yang ia lihat tadi. Padahal laki-laki itu bukan siapa-siapanya, namun rasanya Aneska tidak suka jika laki-laki yang selalu terlihat alim itu malah sibuk berdekatan dengan perempuan jika tidak di rumahnya.

Pikirnya apa agama hanya sebagai kedok saja agar terlihat berilmu di depan keluarga. Sedangkan kalau di luar rumah, agama seakan tidak ada. Bisa dengan santainya bertegur sapa, saling tatap dengan perempuan yang bukan mahramnya.

"Eh... eh, kenapa kamu? Main lempar gitu aja. Emangnya kamu pikir pantes lempar barang begituan di depan Paps?"

"Barang begituan apaan sih? Itu kan cuma pembalut. Enggak usah lebay deh," sahutnya yang kini berada di depan kulkas untuk mengambil segelas air putih. Sepertinya dia haus sekali hanya karena membeli pembalut ke luar.

"Masalahnya karena pembalut. Emang pantes kamu begini. Ambil terus simpan di tempat yang benar. Nanti mams pulang kena omel kamu."

Gadis itu mencibir sebal, dia meletakkan gelas yang baru saja dia pakai kuat-kuat. Untung saja bahannya terbuat dari plastik, jika tidak mungkin akan pecah.

"Bawel banget sih, Paps. Kayak Paps enggak pernah beliin pembalut aja buat mams."

Karim, ayah beranak dua yang kini keduanya sudah beranjak dewasa tidak pernah menyangka jika sikap putrinya sendiri akan persis seperti istrinya.

"Heh, mau ke mana kamu?"

"Toilet. Ganti pembalut!!"

Galak, dan ganas. Itulah sikap Aneska yang bahkan belum genap berusia 18 tahun. Akan tetapi, hanya orang-orang tertentu saja yang tahu seperti apa lembutnya hati milik Aneska yang memang belum berhasil dia berikan kepada pemuda manapun.

***

Zhafir tidak berkomentar apapun ketika melihat ayah dan ibunya tengah menikmati rasa rindu mereka berdua di depan televisi malam ini. Kepulangan ayahnya yang ternyata bisa lebih cepat cukup banyak menambah kebahagiaan ibunya. Nada, ibunya Zhafir, yang jarang sekali masak di rumah tiba-tiba langsung berinisiatif membuatkan makan malam untuk dinikmati oleh dirinya dan suaminya saja.

Karena tidak pernah sekalipun Nada memasakkan sesuatu untuk Zhafir di malam hari. Apalagi Zhafir tidak pernah mengkonsumsi makanan, terlebih nasi, di malam hari. Bukan karena dia ingin diet, hanya saja ketika dia makan malam dan sampai kekenyangan, dia akan malas untuk membuka kembali catatan mata kuliah yang seharusnya dia pelajari lagi.

Apalagi kalau kekeyangan sering kali membuat Zhafir terlambat bangun untuk sholat malam, sehingga membuatnya merasa sangat rugi jika semua itu sudah terjadi.

Kini, karena tidak mau mengganggu adegan romanti ayah dan ibunya yang memang jarang sekali memiliki waktu kebersamaan, akhirnya Zhafir mengalah. Dia keluar dari rumah, duduk di teras depan sambil ditemani oleh nyanyian dari nyamuk yang bergentayangan.

Untung saja adiknya yang berusia 3 tahun sudah tertidur dengan popok yang tadi dia belikan. Jika tidak, adegan romantis ini pasti tidak mungkin terjadi.

Sambil menunggu rasa kantuknya, Zhafir membuka grup keluarga besarnya. Seharian ini sudah 999+ notifikasi yang belum dia buka. Pantas saja baterai ponselnya cepat habis, ternyata alasannya dari semua notifikasi ini.

If Our Love Was a Fairy TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang