Bab 28

1.5K 355 77
                                    

Ciee.. Komennya makin dikit.
Tapi gue update terus.. Seneng tuh..
Hahaha..
Gpp lah yak.. Amal.
Kalian senang aku juga senang.

Btw.. Ada video baru nih diyoutubeku..
Tentang review masker jafra.. Ada yang udah pernah pake?
Cuss.. Nonton videonya..

Tolong kamu ingat satu kalimatku ini. Neraka tidak pernah datang untuk menjemputmu. Melainkan kamu yang perlahan berjalan menuju ke arahnya.

Aiz dengan nekad mendatangi rumah yang berhadapan dengan rumahnya. Dengan langkahnya yang tanpa keraguan, Aiz memasuki pekarangan rumah Aneska, kemudian mengetuk pintu rumah besar tersebut.

Beberapa saat dia sabar menunggu. Meskipun kondisi sudah ingin magrib, namun keinginannya untuk mengatakan hal yang sesungguhnya kepada Aneska tidak terbendung lagi. Dia ingin melihat reaksi Aneska ketika Aiz jujur terhadap perasaannya. Jika Aneska menerima perasaan darinya dengan tulus, maka Aiz ingin memohon kepada gadis itu untuk menunggu dirinya berubah. Dia ingin menjadi lebih baik dulu, sebelum melangkah lebih jauh dalam hubungan mereka.

"Sore, Om." Aiz cukup kaget ketika Karim yang membuka pintu tersebut.

"Sore. Ada apa?"

"Begini, Om. Saya mau ketemu sama Aneska."

Dari atas sampai bawah, gerak gerik Aiz terus diperhatikan oleh Karim. Masih dengan seragam sekolah yang sudah tidak rapi, rambut acak-acakan. Tidak memakai alas kaki, karena tadi Aiz sudah sempat membukanya di rumah, sampai wajah Aiz yang kusam dan memerah, semuanya komplit Karim nilai.

"Memangnya di sekolah tidak ketemu?"

Aiz membungkam. Belum apa-apa, langkahnya sudah tersandung oleh sikap ayahnya Aneska. Dia yakin keputusannya kali ini tidak akan berjalan mulus. Karena itulah kini dia ragu untuk menjawab pertanyaan Karim.

"Kamu udah pulang ke rumah belum? Pulang sekolah itu, langsung pulang ke rumah. Ganti bajumu. Bersih-bersih dulu, baru bertamu ke rumah orang. Lama-lama saya jadi curiga, jangan-jangan kamu yang buat Aneska sering pulang telat waktu sebelum-sebelumnya. Karena buktinya sekarang Aneska selalu pulang tepat waktu. Tidak pernah nongkrong-nongkrong lagi. Kayak anak tidak punya orangtua. Kamu paham kan maksud saya?"

Aiz mengangguk perlahan. Dirinya berniat ingin kembali ke rumah, dan mengurungkan niatnya itu.

Namun suara Aneska yang memanggil namanya dari dalam, memecah pikirannya.

Gadis itu terlihat bingung karena melihat Aiz datang ke rumahnya kini. Bukankah sebelum-sebelumnya Aiz yang menghindar darinya. Tapi kenapa kini laki-laki itu yang datang sendiri?

"Jangan lama-lama. Paps enggak mau kamu terlalu banyak main!"

Bagai perintah, Aneska tidak menjawabnya. Kini dia ditinggalkan berdua saja dengan Aiz yang meringis sedih. Ternyata kedatangannya memang tidak disambut dengan baik. Apalagi jika Karim tahu maksud kedatangannya kini, bisa-bisa Aiz ditendang hingga ke rumahnya.

"Ada apa?" tanya Aneska mencoba bersikap biasa saja.

Karena pikirnya, jika memang Aiz tidak mau menjadi temannya lagi, ya sudah. Dia mencoba untuk mengikhlaskan semuanya.

"Bisa ngomong sebentar?"

Aneska menurut. Keduanya berjalan ke arah pekarangan rumah ini, sengaja menjauh dari telinga-telinga para orangtua yang memiliki rasa penasaran sangat tinggi.

"Mau ngomong apa?"

Aiz menatap wajah penasaran Aneska, kemudian tersenyum lebar. Tangannya dengan santai mengusap kepala Aneska yang dulu sering sekali dia lakukan.

"Gue mau minta maaf. Lo pasti kesel kan gue jauhin lo. Gue tahu semua ini kesalahan gue. Tapi... kalau gue enggak ngejauh, takutnya lo enggak lulus ujian. " Tawa Aiz terdengar sangat palsu di telinga Aneska. Tanggapan dari gadis itu hanya kerutan dari kedua alis hitamnya, sembari menggelengkan kepala.

"Lo pasti mau ngomong yang lain, kan? Soalnya ini bukan lo banget."

"Inilah gue, Nes. Lo aja yang enggak kenal gue."

Bibir Aneska mencibir. "Memang. Gue enggak akan bisa mengenal lo. Karena lo sendiri yang enggak mau gue tahu seperti apa diri lo. Kenapa? Apa karena pakaian gue yang masih enggak pantes? Enggak kayak sepupu-sepupu lo? Eh, tapi bukannya salah satu kakak sepupu lo yang cewek itu pakaiannya juga terbuka? Dan adek lo juga masih sama kayak gue tampilannya? Terus kenapa yang kelihatan buruk cuma gue doang? Apa karena mereka semua adalah keluarga lo? Jadi lo menutup mata atas kekurangan mereka. Sedangkan kekurangan dalam diri gue, jelas-jelas terlihat dimata lo. Mengenaskan banget ya."

Semua yang terlintas dipikirannya langsung Aneska katakan. Dia tidak suka menduga-duga sendiri. Karena itu dia katakan langsung pada Aiz.

"Kok lo ngomongnya gitu?"

"Emang benar, kan? Gue dengar dari abang lo tuh, Zhafir. Dua kali gue disembur sama dia. Kalian ribut dan salahin gue gitu aja. Pas gue tanya apa alasannya, ternyata gara-gara pakaian gue yang enggak tertutup kayak tudung nasi. Sumpah sebel banget gue dengarnya? Kalian ribut berdua, dan gue yang kalian salahin? Keterlaluan banget. Sini gue bilangin, apapun yang gue pakai, enggak ada urusannya sama kalian. Orangtua gue aja enggak ngelarang apapun. Terus kalian siapa? Datang-datang dalam kehidupan gue, ngeributin gaya pakaian gue. Ngerasa sok benar banget kalian."

Aiz terlihat sangat menyedihkan. Dia tidak bisa berkata apapun ketika Aneska mengatakan banyak hal kepadanya.

"Kalimat maaf lo gue terima. Dan lo bisa pulang sekarang."

"Oke." Aiz langsung memutar langkahnya untuk pergi.

Semua rencana dia tadi untuk jujur kepada Aneska tentang perasaannya, buyar sudah. Memang sudah tidak ada tempat di sisi Aneska untuk posisi dirinya yang terlalu buruk di matanya.

Namun semua yang Aneska katakan benar adanya. Zhafir dan dirinya meributkan sosok Aneska, gaya berpakaiannya yang terbuka, sampai Aneska dia jadikan objek fantasinya. Akan tetapi Aiz tidak sadar jika adiknya pun memiliki gaya berpakaiannya yang sama dengan Aneska.

Lalu mungkinkah adiknya dijadikan objek fantasi liar oleh laki-laki lain?

Mungkin saja. Semua hal bisa terjadi. Dan rasanya Aiz tidak rela jika Aesha diperlakukan seperti itu.

Saat Aiz berjalan meninggalkan rumah Aneska, dan masuk ke rumahnya, tidak sengaja Zhafir melihatnya. Dia yang berniat ingin mengajak Aiz untuk pergi ke mushola bersama, langsung terhenti.

Kini tatapannya tertuju ke arah Aneska yang masih terpaku di tempat. Wajah gadis itu terlihat menyedihkan meskipun dia tidak menangis.

Beristighfar sejenak, Zhafir kembali melangkah. Dia berjalan mendekati Aneska terlebih dahulu, karena Aiz sudah terlanjur masuk ke dalam rumahnya.

"Sedang apa?" tanya Zhafir perlahan.

Sambil meliriknya, Aneska menitikan air matanya. Dia menangis di depan Zhafir yang berdiri di depannya.

Zhafir tidak mengeluarkan satu katapun. Dia hanya diam, mendengarkan isak tangis Aneska yang terasa menusuk ke dalam hatinya.

"Kenapa aku harus jatuh cinta pada orang seperti dia?" gumam Aneska semakin membuat Zhafir terpuruk.

Padahal tadi sore jelas-jelas dia mengatakan perasaan hatinya meskipun hanya dalam perbandingan. Tapi ternyata Aneska tidak terlalu menanggapi perasaan Zhafir tersebut.

kalimat tersebut seakan dianggap angin lalu oleh Aneska.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?"

Zhafir menggeleng. "Gue enggak tahu. Karena mengurus perasaan sendiri aja gue belum mampu."

Continue...
Huhuhu, bang Zhafir.. Sesakit itu, euyy..

If Our Love Was a Fairy TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang