Bab 30

2.3K 345 50
                                    

Yihaaa..
Balik lagi cuyy..
Krik.. Krik.. Krikk..
Ada masih yang baca?
Kalian baca jam berapa?
Komen coba..

Oh iya.. Ini maljum, kan?
Jangan lupa lihat video VCSku..
Kisah nyata terus pokoknya.. Hahahaa...

Dan satu lagi..
Aku mau bilang makasih bagi kalian yg udah subscribe yaakk..
Aku dapat email dari youtube.. Heehee..


Bahagiaaaaa.. Bangeett..
Usaha emang gak pernah mengkhianati hasil.. Semangat terusss...

Aku ingin kamu terus bercerita kepadaku. Setidaknya meskipun cintaku tidak terbalas, namun aku masih akan tetap bahagia karena nyatanya aku masih dibutuhkan.

Baru sempat bertemu dengan Aiz lagi setelah sepupunya itu memiliki kesibukan yang luar biasa dalam persiapan perpisahan sekolahnya kemarin ini, Zhafir akhirnya bisa berbicara langsung kepada Aiz.

Dalam kondisi ruangan kamar Aiz, kali ini Zhafir tidak menemukan hal-hal yang membuatnya kesal lagi. Bukan. Bukan berarti Aiz sudah berubah menjadi lebih alim, namun karena laki-laki itu terlihat sudah lebih tidak peduli terhadap gadis yang kemarin ini sempat menjadi alasan mereka melakukan keributan.

"Gimana hasil ujian lo?" tanya Zhafir sebagai pembukaan.

Aiz yang sibuk men- dribble bola basketnya menjawab dengan santai.

"Bagus. Setidaknya enggak menyakitkan kalau dilihat oleh mata." Jawab Aiz seadanya.

Zhafir ikut tersenyum. Kemudian melirik Aiz lagi yang terus saja sibuk dengan kegiatannya. Tidak ada pertanyaan lanjutan, agar komunikasi ini berjalan. Karena sepertinya Aiz memang menunggu semua pertanyaan yang ingin Zhafir ketahui darinya.

"Terus lo kuliah di mana?"

"Yang jelas otak gue enggak mampu masuk kampus negeri." Jawab Aiz sarkas. "Mungkin gue bakalan pilih president university, atau UPH. Atau mungkin lo punya saran lain buat tempat kuliah gue?"

"Emangnya lo mau ambil jurusan apa?"

Aiz menghentikan gerakan tangannya. Bola basket itu langsung menggelinding ke arah Zhafir. Keduanya saling menatap, kemudian Aiz yang menghindar lebih dulu.

"Enggak tahu. Belum kepikiran. Gue apa ajalah. Asalkan bukan jurusan hati."

"Kenapa lo enggak bareng sama Aneska?"

"Emang lo tahu Aneska kuliah di mana? Dia mau dikirim ke luar negeri."

Zhafir terlihat menilai ekspresi Aiz yang mulai kesal. Padahal kali ini dia ingin sekali membicarakan semuanya dengan hati-hati. Tapi nyatanya dia tidak bisa. Apalagi membicarakan masalah hati, masalah perasaan, tidak akan pernah bisa dibicarakan dengan cara baik-baik.

"Gue enggak tahu. Sorry. Tapi menurut gue, kalaupun dia kuliah di luar negeri, lo kan juga bisa kuliah satu negara dan satu kampus sama dia. Gue yakin bokap lo mampu."

Aiz mencibir. "Ini bukan masalah mampu atau enggak. Tapi karena gue yang enggak mau kuliah di luar negeri. Buat apa? Biar kasih waktu ke lo buat bisa berduaan dengan Aneska?"

"Maksudnya? Bukannya lo bilang dia kuliah di luar negeri. Ngapain lo bawa-bawa gue?"

Aiz mengangkat kedua bahunya. "Gue enggak tahu jelas dia kuliah di mana. Dulu sih di luar negeri, enggak tahu sekarang."

"Kenapa sih lo tanya-tanya hubungan gue sama Aneska terus? Bukannya lo juga suka sama dia. Kenapa lo masih hubung-hubungin ke gue? Padahal kemarin-kemarin udah gue kasih kesempatan buat lo dekatin dia. Tapi kayaknya enggak lo pergunain dengan baik kayaknya."

"Udah. Udah gue pergunain." Jawab Zhafir tanpa beban.

Kini Aiz yang terlihat kaget. Dia menerka-nerka dalam hatinya, kira-kira apa yang Zhafir lakukan dengan Aneska semenjak dia memutuskan untuk menyelesaikan semua perasaannya ini.

"Gue udah ngomong sama dia tentang perasaan gue." Ungkap Zhafir, yang langsung ditanggapi Aiz dengan sangat kaget.

Tubuhnya langsung saja berdiri. Dia hendak mendekati Zhafir, namun senyum kepedihan tergambar di wajah sepupunya itu.

Kemudian Zhafir membalas tatapannya. Senyum terluka itu masih ada.

"Tapi dia anggap semua yang gue bilang cuma sebatas bercanda. Ya, seperti itulah kondisi hubungan gue sama dia. Tapi meskipun begitu gue tetap bahagia. Setidaknya kini gue enggak perlu malu-malu atau diam-diam mendoakan dia lagi."

Tidak tahu harus berkata apa, Aiz kembali duduk. Dia meneliti kembali raut wajah Zhafir yang sudah lebih tenang.

"Gue harap setelah cerita gue ini, lo bisa lebih paham bagaimana menempatkan posisi lo dengan Aneska. Lo enggak perlu berpikir gue lebih berhak atau gue lebih cocok dengan dia. Jangan seperti itu. Gue pengen kita kayak dulu lagi. Yah walaupun pastinya susah. Tapi gue akan tetap bersikap biasa saja. Selama lo bisa menjaga sikap lo."

"Seburuk itu kah sikap gue?" cibir Aiz. Tapi kemudian dia tertawa lebar seakan-akan memang menyetujui jika sikapnya terlalu buruk untuk diterima oleh semua orang.

"Jadi gue masih boleh main sama dia nih?" goda Aiz.

"Enggak perlu tanya sama gue. Karena gue dan dia memang enggak ada hubungan apapun. Lagi pula...." Gantung Zhafir. Dia mencermati ekspresi Aiz yang menunggu kelanjutan kalimatnya. "Lagi pula, kalaupun dia jadi jodoh gue, gue juga enggak akan melarang lo buat berteman dengan dia."

Aiz menanggapinya dengan senyuman. Setelah lepas ujian, bebannya semakin ringan karena dia bisa berdamai dengan Zhafir seperti ini. Sekalipun dia tidak pernah berpikir bisa berbicara dan bersikap dewasa ketika membicarakan urusan perasaan. Tapi ternyata dia bisa. Hanya saja sebelum-sebelumnya, Aiz selalu mengutamakan ego dan emosinya.

"Oh iya, kemarin lo ngomelin dia juga?"

"Dia cerita sama lo?"

"Hm." Jawab Aiz sambil mengangguk. "Dia cerita, katanya gue sama lo ribut karena cara berpakaian dia. Terus dia ngebandingin dirinya sama perempuan-perempuan dalam keluarga kita. Dan yang parahnya ade gue juga dicap buruk sama dia. Sedih sih dengarnya. Kayak enggak ikhlas aja gue dengar Aesha dikomentarin. Mungkin itu juga yang akan dirasain kedua orangtua Aneska, saat mereka tahu anaknya jadi objek fantasi nakal gue. Rasanya emosi gue seketika berubah jadi malu. Gue pengen menuntut orang lain memperlakukan gue dengan baik. Tapi nyatanya gue duluan yang memperlakukan mereka dengan buruk."

"Gue harap semua kejadian ini, bisa membuat pikiran lo lebih kebuka. Gue enggak berharap karakter lo berubah. Lo harus tetap jadi Aiz yang gue kenal. Tapi setidaknya, lo harus bisa menjaga karakter lo sendiri. Jangan sampai semuanya menjadi bomerang dalam kehidupan lo sendiri."

Manik mata Aiz berkaca-kaca. Sebisa mungkin dia masih bisa tersenyum, walaupun terlihat aneh dimata Zhafir.

"Gue bingung, Bang, sama sikap lo. Lo masih aja baik sama gue. Masih aja mau ajarin agama ke gue setiap malamnya. Masih mau aja bersahabat sama gue. Masih mau ngomong baik-baik kayak gini. Mungkin kalau orang lain, semuanya udah pergi ninggalin gue. Tapi lo enggak. Lo tetap ada di sini, bareng gue. Jujur gue ngerasa aneh banget."

"Jangan pikirkan sikap orang yang pergi ninggalin lo saat dia tahu bagaimana buruknya karakter dalam diri lo. Tapi tetaplah jaga orang yang tetap bareng-bareng lo, walau dia tahu seperti apa karakter lo."

Tersenyum dengan sangat ikhlas, Aiz membatin dalam dirinya. Dia sangat setuju jika Zhafir dan Aneska bisa bersatu. Karena artinya, jika mereka bersama Aiz tidak akan pernah merasakan kehilangan akan kedua orang yang dia sayang ini.

"Terima kasih, bang Zhafir."

Continue..
Hiks.. Hiks... 😭😭😭😭

If Our Love Was a Fairy TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang