Bab 25

1.7K 338 62
                                    

Ciee.. Kmrn komennya dikit banget sama votenya.. Huhuhu.
Ya sudahlah.. Yang penting cerita ini akan segera aku tamatkan. Kalian gak suka itu hak kalian..

Btw..
Aku barusan posting video masak terbaru di youtubeku.. Jangan lupa cek yaa..
Di subscribe, di like, dan dikomen juga..

Krn besok aku mau posting tentang SP? Atau self publishing..


Sebagai perempuan, aku hanya ingin dimengerti tanpa perlu repot-repot menjelaskan.

"Zhafir.... " Agam memanggil putranya dari luar pintu kamar. Berharap Zhafir akan menjawabnya, dan sama-sama pergi ke mushola untuk sholat magrib bersama.

Namun sudah kesekian kali Agam ketuk pintu kamar itu, suara tanggapan dari Zhafir tidak terdengar.

Perlahan dia membuka pintu kamar anaknya. Melihat kekosongan di dalam kamar itu. Sejenak Agam diam, menerka-nerka di mana Zhafir saat ini. Bukankah tadi sore jelas-jelas dia melihat Zhafir pulang ke rumah?

"Kamu ngapain?" tanya Nada baru keluar dari kamar mereka.

"Zhafir mana, Bu?"

"Udah dari jam 5 tadi di mushola. Sampai di rumah, mandi, langsung ke mushola. Kenapa memangnya?"

Agam menggeleng. Dia pamit kepada istrinya untuk pergi ke mushola, menuntaskan ibadah sholat magribnya.

Beberapa langkah Agam berjalan dari rumahnya, namanya dipanggil Wahid yang cukup ceria, tersenyum ke arahnya.

"Aiz mana?" tanya Agam karena dia hanya melihat Wahid sendiri. Bukannya sahabatnya itu ingin memulai kembali untuk mendidik Aiz menjadi lebih baik.

"Loh, udah dari jam 5 tadi dijemput Zhafir ke mushola." Jawab Wahid tenang.

Agam terdiam sejenak. Dia melihat ke wajah Wahid yang masih tersenyum, kemudian menggeleng cepat. Seakan mengusir pikiran buruknya.

"Eh, kapan-kapan ajak pak Karim ke mushola. Kayaknya gue enggak pernah lihat dia."

"Boleh." Kata Agam menyetujui.

Sesampainya di mushola, Agam langsung bisa melihat Zhafir dan Aiz berada di pojok mushola, seperti sedang membereskan sesuatu.

Suara adzan magrib yang baru terdengar, menuntunnya semakin mendekati kedua anak itu.

"Ngapain kalian?" tanya Agam.

Aiz tersenyum lebar. "Abis beresin Al-Qur'an, lipetin sarung, sama mukena. Terus susun sajadah biar lurus, Om." Kata Aiz menjelaskan.

Agam mencoba memahami apa yang ingin dituju putranya itu. Karena ketik Aiz menjelaskan, Zhafir tidak bicara apapun.

"Ayo kita sholat dulu." Ajak Wahid.

Beberapa saat setelah sholat usai, Zhafir langsung menarik Aiz untuk melakukan sesuatu sesuai perintahnya.

Sebuah Al-Qur'an yang tadi sudah dia rapikan, Aiz ambil kembali. Lalu kemudian dia bawa ke hadapan Zhafir untuk dibaca bersama sembari menunggu waktu isya tiba.

"Gam, enggak balik lo?" tanya Wahid yang tidak mau ikut campur kegiatan dua anak remaja itu.

"Iya. Balik." Jawab Agam sedikit khawatir. Setelah memerhatikan beberapa saat tadi, dia tahu apa yang ingin Zhafir terapkan kepada Aiz. Tapi masalahnya tidak semua orang bisa menerima ilmu secara cepat dan mendadak seperti itu. Karena proses pemahaman setiap orang berbeda-beda, dan itulah yang ingin Agam jelaskan kepada Zhafir.

"Seneng gue lihat anak-anak kita." kata Wahid tidak melepaskan senyumannya.

"Hid."

"Hm."

If Our Love Was a Fairy TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang