Bab 21

1.6K 358 152
                                    

Pintalah semua yang kau inginkan, jangan sampai sujudmu hanya sebatas hitungan angka saja.

Zhafir sengaja berlama-lama dalam sujud terakhirnya hanya demi menumpahkan apa yang dia rasakan saat ini. Perkelahian dengan Aiz yang muncul kembali, lalu kemarahan gadis itu, membuat kepalanya terasa ingin meledak. Jujur saja dia tidak ingin kondisinya seperti ini. Tapi mengapa? Mengapa Tuhan membuat langkahnya semakin berat. Dia hanya ingin orang yang dia sayangi bahagia. Baik itu Aiz atau pun Aneska. Atau mungkin keduanya jika Aiz dan Aneska bersatu.

Banyak doa, banyak harapan yang Zhafir bicarakan dalam sujudnya. Kali ini hatinya benar-benar menangis. Dia terasa sangat rapuh. Dia ingin Tuhan mendengar doa dan harapannya. Dia ingin semuanya kembali normal seperti dulu kala. Dimana tidak ada masalah dengan orang lain ketika hatinya mencintai seorang perempuan dalam doa.

Zhafir pun ingin hubungannya dengan Aiz kembali normal. Tidak ada keributan. Tidak ada amarah. Karena keinginan terbesar Zhafir adalah mengajak Aiz sama-sama berhijrah di jalan yang benar. Zhafir ingin mendekatkan Aiz kepada penciptaNya. Karena jika suatu saat gadis itu memang jodoh Aiz, maka Zhafir akan sangat ikhlas melepaskannya.

Namun sayangnya sampai detik ini jalan itu sangat terjal. Setiap langkah yang Zhafir pijak, terasa runtuh. Mengharuskannya mengulang kembali langkah tersebut. Hingga apapun yang dirinya lakukan terasa percuma.

Karena itulah Zhafir mencoba segala macam cara untuk merealisasikannya. Tapi tidak semudah itu. Semua butuh waktu. Semua butuh kesabaran. Dan semuanya butuh doa. Doa yang tulus untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkan.

"Nak...." Agam memanggil Zhafir ketika adzan subuh sebentar lagi berkumandang.

Ketika dia melihat ke dalam kamar Zhafir, putranya itu masih sibuk mengadahkan kedua tangannya. Bersimpuh. Memohon ampun atas segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Dia juga memohon ampun atas segala dosa saudara-saudaranya.

Seketika Agam terdiam. Memandangi wajah Zhafir yang begitu serius terasa kembali membawanya ke masa lalu. Dimana tidak ada tempat untuk mengadu. Tidak ada sosok yang bisa mendengarkan. Maka sholatlah kepadaNya adalah jalan terbaik. Pada masa itu Agam juga sempat terombang-ambing dalam gemerlapnya dunia. Sampai datangnya sosok Wahid yang mengingatkannya jika masih ada Tuhan. Maka janganlah pernah merasa sendiri.

Dan ternyata ketika Agam mencoba istiqomah dengan ibadahnya, banyak hal yang terasa tidak mungkin dengan mudah Agam dapatkan.

Termasuk mendapatkan Nada pada saat itu.

"Zhafir.... " Panggilnya sekali lagi.

Mengakhiri doanya, Zhafir melirik ayahnya yang setia berdiri diambang batas pintu. Pakaian ayahnya sudah rapi, dengan sebuah sajadah disandang pada bahunya. Zhafir sangat tahu, setiap ayahnya ada di rumah, kegiatan untuk sholat subuh di mushola tidak pernah mereka lewatkan. Termasuk hari ini.

"Ayo, sebentar lagi subuh." Ajaknya.

Zhafir mengangguk. Dia menggulung sajadah yang tadi dia pakai, lalu berjalan menghampiri Agam.

Ketika Zhafir mendekat, Agam langsung memeluknya. "Dia akan mendengarkan semua doamu, Nak."

Tidak menjawabnya, Zhafir menundukkan kepala. Mengikuti langkah ayahnya membawanya ke mushola pagi ini.

***

Subuh ini terlihat banyak keajaiban. Ketika Agam dan Zhafir baru keluar rumahnya, mereka melihat Wahid dan Aiz juga baru saja keluar. Dari suara yang terdengar, Aiz terus merengek karena Wahid memaksanya untuk ikut pagi ini.

"Assalamu'alaikum, Gam."

"Wa'alaikumsalam." Agam menaikkan alis hitamnya, melihat Wahid dan Aiz pagi ini.

If Our Love Was a Fairy TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang