Bab 27

1.6K 375 78
                                    

Halo.. Masih ada yang baca cerita ini?
Udah mau 3 bulan. Kagak kelar2..
Bukannya kagak kelar2..
Nulisnya sih udah kelar.
Cuma krn yg baca gak banyak. Aku update pelan2..
Hahahaa.. Nambah view, nambah vote, nambah komen dulu..
Biar bisa dijual ke aplikasi sebelah.. 😆😆😆😆

Lumayan lah.. Duit.. Ehh..

Btw.. Malam ini aku mau live IG, ada yang mau ngobrol sama aku?
Yuk follow dulu instagram Shisakatya

Kita ngobrol santuy aja.
Kagak jualan.. 😆😆😆
Kagak maksa kalian buat subscribe youtube aku.. Hahaa.. Yg mau aja..
Gue gak mau maksa org.
Kita ngobrol2 aja di instagram malam ini.

Tungguin yak..

Bersabarlah. Suatu hari semesta akan berpihak kepadamu yang terus menundukan kepala demi menutupi kesedihan yang tidak kunjung usai. Karena kini semesta tahu waktunya kamu akan bahagia.

Beberapa waktu disibukan dengan ujian kelulusan, pihak-pihak yang sebelumnya merasakan ketidak adilan dari keadaan, kini mulai berangsur-angsur melupakan. Memang waktulah obat paling mujarab untuk menyembuhkan luka. Apalagi luka akibat Cinta. Begitupun yang dirasakan Aiz.

Kegiatan setiap malamnya Zhafir ke rumah, sengaja dijeda oleh sepupunya itu. Selain karena Zhafir tahu Aiz harus melakukan ujian kenaikan kelas, dia juga sadar ada bagian dalam dirinya yang harus diperbaiki. Karena itulah, terciptanya waktu kali ini sangatlah bermanfaat.

Begitupun yang dirasakan Aiz. Ingin menunjukkan kepada ayah ibunya jika masih ada sebagian kecil hal dalam dirinya yang bisa dibanggakan, Aiz mulai merangkai mimpinya. Dia belajar cukup giat sampai-sampai kedua orangtuanya merasakan keanehan. Walaupun Kiki dan Wahid tahu jika cara belajar Aiz yang semakin menggila hanya sebuah pelarian, namun Kiki dan Wahid tetap mensyukurinya. Setidaknya pelarian Aiz masih ke arah yang positif.

"Aku tetap enggak mau ya Aiz kamu sekolahkan ke Jerman." Kata Kiki sembari menyiapkan makan malam hari ini.

Wahid yang tengah menatap layar tablet hanya tersenyum sedikit. "Kenapa enggak mau? Pendidikan di luar negeri jauh lebih bagus, kan?"

"Iya, bagus. Tapi enggak begini juga, Bang." Ungkap Kiki kecewa.

Dia menatap Wahid kesal karena perubahan pikiran suaminya itu yang terkesan sangat mendadak.

Dulu, ketika Aiz memasuki tahun ketiga di sekolah menengah atas, Wahid menyetujui usul Kiki agar menyekolahkan Aiz di Indonesia saja. Namun ketika ujian akhir berlangsung seperti ini, kenapa Wahid berubah pikiran?

"Aku yakin Aiz butuh waktu, Bu. Dia butuh waktu untuk berpikir dan mendewasakan diri."

Kiki mencibirnya. Dia mendekati Wahid, dan duduk di sebelah suaminya itu. Senyum palsunya jelas-jelas terlihat di kedua mata Wahid.

"Itu bukan cara orangtua kasih waktu buat berpikir putranya. Tapi itu adalah cara kamu dulu melarikan diri dari rasa kecewa."

Kena tegur oleh istrinya sendiri, Wahid tidak bisa banyak komentar. Bibirnya ikut tersenyum tipis sebelum akhirnya mengalah atas keinginannya tadi.

"Pokoknya aku enggak setuju dengan cara kamu kirim Aiz ke Jerman, hanya demi memberikan waktu untuk putra kita berpikir. Aku enggak setuju. Anakku bukan pengecut yang harus berpikir sambil melarikan diri."

Begitu banyak pembicaraan yang keduanya lakukan, berhasil menghentikan langkah kaki Aiz yang baru kembali dari sekolah di waktu sore menjelang magrib ini.

Tadinya dia ingin menyapa dengan riang karena ujian sekolahnya akhirnya selesai. Tapi setelah mendengar cerita kedua orangtuanya ini, serta mendengar keinginan ayahnya, langkah kaki Aiz langsung berputar. Dia duduk di depan rumahnya sendiri, sembari menatap rumah besar di hadapannya itu.

If Our Love Was a Fairy TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang