Bab 23

1.6K 358 224
                                    

Woiii.. Udah buka belom?
Buka pake apaan?
Tumben nih gue maju updatenya...
Iyaa.. Mumpung bisa dimajuin kenapa enggak? 😉😉😉

Btw.. Semua cerita yang gue tulis di judul ini akan berdampak ke ceritanya Abi yee.. Jadi kayak semacam sambungan gitu...

Jadi jangan bosen-bosen juga buat komen di sini.. Awas loh kalo pada nggak komen.

Tapi komennya ya ngotak juga.. 😆😆😆 hahhaaa..

Follow IG gue cuy,  @shisakatya
Kan gue pengen juga follower 10rb. Biar bisa swipe up.. Hahahaa.. Noraaakk!!!


Kamu akan merasakan kesedihan ketika seseorang yang kamu sayangi melupakanmu. Begitupun yang Allah rasakan ketika kamu berpaling dariNya.

Mendapatkan pesan dari Karim, Agam mulai sedikit curiga dengan kondisi semuanya. Dia yang terbiasa menyelesaikan banyak kasus, perlahan menyambungkan satu demi satu semua hal yang terjadi di sekitarnya, hingga diakhiri dengan pesan dari tetangganya, Karim yang ingin membahas mengenai putrinya dengan Aiz.

Ya, menurut Agam, Karim salah mengetikkan nama putranya. Dan semua itu mengartikan jika Karim juga mengirimkan hal yang sama ke Wahid, sebagai orangtua dari Aiz.

Karena itu setelah menerima pesan tersebut, Agam keluar rumah. Melihat kondisi rumah di sekitarnya.

Untung saja hari ini dia sedang di rumah, sehingga lebih mudah jika memang ingin membahas dan menyelesaikan semua masalah yang kemungkinan besar juga menyangkut putranya, Zhafir.

Beberapa saat Agam berdiri di depan rumahnya, melihat ke arah rumah Wahid, dan rumah di sebelahnya, yang terlihat sepi, membuat Agam bingung sendiri. Jika memang ada masalah yang ingin dibicarakan, dia akan sangat siap. Agam bukanlah tipe orang yang suka menunda-nunda waktu untuk menyelesaikan masalah.

Saat Agam masih tenggelam dalam pikirannya, dia melihat Wahid keluar dari rumahnya. Sepupu dari istrinya itu terlihat seperti baru selesai mandi. Rambutnya yang basah dan pakaian yang rapi seperti habis di setrika, menambah rapi tampilan Wahid. Meskipun hanya pakaian rumah yang dia pakai saat ini.

"Hid...." Panggil Agam.

Wahid mengangkat tangannya sebagai jawaban. Dia melangkah mendekati Agam, dengan ekspresi yang sangat serius.

"Jangan bilang lo dapat pesan yang sama juga."

"Iya. Memangnya ada apa?"

Wahid mengangkat kedua bahunya. Mereka berdua kini melihat ke arah rumah tetangga mereka itu yang sudah mengirimkan pesan di hari yang cukup pagi.

"Kayaknya gara-gara anak gue." Kata Wahid langsung mengakui betapa buruknya kelakuan Aiz belakangan ini.

"Jangan terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Kalau lo bicara begitu sama saja lo menilai anak lo buruk."

Menarik napasnya dalam, kali ini Wahid hanya bisa diam mendapatkan ceramah dari Agam.

"Tapi anehnya dia kirim pesan ke gue, terus bilangnya mau bahas tentang putrinya dan anak gue, Zhafir. Apa jangan-jangan semua ini juga ada hubungannya sama Zhafir?" tanya Wahid menunggu reaksi Agam.

Sahabatnya itu hanya tersenyum. Tubuh tegapnya bersidekap. "Sepertinya begitu. Tapi sebelum gue dengar penjelasannya, gue enggak akan menebak apapun."

Wahid menyetujuinya. Manik mata melirik-lirik ke arah rumah Agam di mana tidak terlihat motor Zhafir pada garasi rumah itu.

"Zhafir kuliah?"

"Iya. Dia kuliah. Ada apa?" lirik Agam ke arah wajah Wahid yang tetap mulus sejak pertama kali mereka bertemu di Jerman dulu.

If Our Love Was a Fairy TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang