Bab 5

3.5K 553 132
                                    

Mungkin kamu lupa, bila kebahagiaan yang kamu rasakan hari ini adalah hasil dari doamu di masa yang lalu.

Bukannya berterima kasih karena sudah ditolong, Zhafir malah mendapatkan nyinyiran yang luar biasa dari Aneska. Gadis itu memang cukup ahli membuat dunia Zhafir jungkir balik. Harusnya Zhafir ingat, menolong orang lain itu tidak boleh mengharapkan pamrih. Tapi mau bagaimana lagi, yang membuatnya kecewa adalah karena ia terlalu berharap lebih dari gadis manis itu.

Karena itulah, saat merasakan kesal, Zhafir harus menikmatinya dengan syukur. Setidaknya malam ini mereka berhasil berbicara berdua walaupun berakhir dengan emosi pada keduanya.

"Bang, dari mana kamu?"

Nada, ibunya, menegur Zhafir ketika melewatinya tanpa meliriknya sedikitpun.

"Ah, dari luar, Bu. Ayah mana?"

"Tuh, lagi terima telepon. Ibu jadi diabaikan lagi deh."

Seketika Zhafir tertawa geli. Pikirnya, apa ibunya belum puas bermesraan tadi berdua dengan ayahnya tanpa ia ganggu?

"Masa sih ibu diabaikan? Perasaan ibu aja kali."

"Iya. Tuh aja lihat buktinya. Dari tadi telepon belum kelar-kelar."

Zhafir mengikuti arah yang ditunjuk oleh ibunya. Di dekat jendela belakang, di mana ada taman kecil yang memang sengaja dibangun untuk sirkulasi udara, terlihat ayahnya sedang berdiri membelakangi. Tanpa memakai kaus, Zhafir melihat secara jelas dan detail bagaimana masa lalu kelam ayahnya terukir di sana. Bentuk tubuh ayahnya yang jauh lebih bagus dari dirinya kadang membuat Zhafir iri. Apa harus dia menjadi nakal dulu baru bisa memiliki tubuh sebagus ayahnya?

"Besok kamu kuliah?"

"Mau ke kampus, ada urusan. Kenapa,  Bu?"

"Besok ibu mau ke rumah nenek. Kasihan Zyla udah lama enggak ke sana. Kalau kamu enggak kuliah, mau ibu ajak sekalian ke sana. Katanya Shafa mau lamaran bulan depan."

"Ah? Kak Shafa lamaran?" Zhafir terkaget-kaget mendengarnya. Tidak ada kabar apapun di grub keluarganya yang selalu rusuh itu, tiba-tiba saja ada kabar jika kakak sepupunya itu mau dilamar orang.

"Iya dong. Dia kan udah cukup usia untuk menikah. Dulu malah ibu usia 20 tahun udah nikah. Mungkin kalau ayahmu ketemu ibu di usia 15 tahun, ibu udah nikah dari usia segitu." Jelas ibunya dengan ekspresi bangga.

Zhafir mencibir geli. Ibunya terlalu percaya diri sekali.

"Emang kak Shafa umur berapa sih, Bu?"

"Dia tuh 24 tahun kalau enggak salah sih. Baru lulus kuliah tahun kemarin kalau enggak salah. Eh, abis lulus katanya mau dilamar sama pilot. Temennya Syahla juga."

Kening Zhafir semakin mengkerut, jadi di sini, Syahla, kakak sepupunya yang lain menjadi makcomblang untuk Shafa?

"Oh, dicomblangin? Emang kak Syahla sendiri udah punya calon? Kok bisa comblangin orang lain."

"Hahahaha, mana ibu tahu? Bukannya dia masih patah hati ditinggal Abi. Kamu tuh ya, bikin ibu jadi gosip aja. Udah sana ke kamar. Besok kalau enggak jadi ke kampus, ikut ibu ke rumah nenek."

Menuruti perintah ibunya, Zhafir melangkah masuk ke dalam kamarnya yang sangat-sangat sederhana. Ukuran kamarnya memang cukup besar, tapi isi di dalamnya tidak ada apa-apa.

Kasur busa sengaja langsung digelar di atas karpet tebal berwarna hitam. Lalu selimut tipis selalu tersedia di atas kasur tersebut bersama dengan sarung dan sajadah.

Sedangkan di pojok salah satu dinding, hanya ada satu lemari yang bahkan isinya saja tidak penuh.

Zhafir sendiri bukanlah orang yang suka mengoleksi apapun. Dia hanya menggunakan berulang kali barang apapun yang ia miliki. Seperti halnya sepatu, baju, dan barang lainnya. Karena itulah jumlah barangnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan sepupunya yang lain.

If Our Love Was a Fairy TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang