Bab 12

2K 335 410
                                    

Hahahaaa.. Tantangan yang aku kasih ke kalian disambut cukup cepat.. Aku pagi ini baru pegang hape dan komennya udah sesuai target. 300 komen. Terima kasih banyak.. 😍😍😍😍😍😍

Pokoknya aku tepatin janji sesuai yang kalian lakukan.
Btw.. Dilapaknya abi komennya jangan ketinggalan. Soalnya cerita ini berhubungan loh. Nanti kalian nyesel gak komen di sana juga, terus aku pending updatenya.. 😄😄😄

400 komen bisa?
Sore ini update lagi sama ceritanya Abi juga.. Tuh kurang baik apa aku.. Kalo kalian semangat aku juga semangat kok updatenya...

Jadi seberapa tangguh jempol kalian?
Dan seberapa cepat kalian mau baca kelanjutannya? Semua itu tergantung kalian..
Okee.. Byeee...

Aku tunggu 400 komennya.. 🥰🥰





Simpan sudah rasa sedihmu karena tidak dapat memiliki sesuatu. Sebab jika kamu memilikinya belum tentu kamu akan bahagia. Tuhan lebih tahu mana yang terbaik untuk umatnya.

Terkena ceramah oleh ayahnya sendiri, Zhafir hanya bisa menunduk diam. Setelah ibunya Aiz sadar jika putranya baru saja dipukuli oleh Zhafir, dia langsung memberitahu suaminya, Wahid. Kemudian Wahid langsung bertindak. Tidak, dia tidak memarahi Zhafir atas apa yang anak itu lakukan pada putranya. Melainkan Wahid lebih memilih menghubungi kedua orangtua Zhafir agar bisa memberitahu kepada putranya kalau apa yang telah dia lakukan adalah sebuah kesalahan.

"Gila. Bisa gila ibu lama-lama lihat kelakuanmu. Sekalinya melakukan kesalahan malah pukulin sepupumu sendiri!!!" Maki Nada yang sejak tadi tidak bisa diam.

Dia menatap Zhafir yang terus menunduk tanpa pembelaan, membuat Nada semakin gemas. Kemana perginya otak cerdas milik putranya itu. Masa dia tidak bisa membedakan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak.

Di samping Nada, Agam mencoba mengerti segala kondisi yang terjadi. Memang dia akui Zhafir telah salah memukul Aiz yang sedang terbaring sakit. Tapi Agam yakin putranya memiliki alasan, sehingga dia ingin Zhafir melakukan pembelaan atas apa yang telah dia lakukan.

Apalagi sebagai jaksa umum, Agam tidak ingin main hakim sendiri. Memutuskan saja hukuman tanpa tersangka memberikan pembelaan.

"Ada yang mau kamu ceritakan pada kami?" tanya Agam setenang mungkin. Dia kesampingkan dulu perasaan sayangnya terhadap putranya itu. Karena bagaimana pun perasaan sayang sering kali membuat manusia tidak adil dalam memberikan keputusan.

"Enggak ada." Kata Zhafir pelan. Dia memilih diam atas segala kalimat yang tadi Aiz katakan kepadanya. Dia ingin menanggungnya sendiri. Karena biar bagaimana pun semua bukti kesalahan tertuju padanya.

"Zhafir, boleh om tanya? Ada masalah apa kalian? Maksud om, kalian ini saudara. Kenapa kalian malah ribut seperti orang lain saja. Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik. Om paham, enggak sepenuhnya kejadian ini disebabkan olehmu. Ada peran Aiz juga di sana yang menyebabkan semua ini terjadi. Tapi masalahnya, kenapa? Kenapa kalian tidak bicarakan baik-baik. Oke. Mungkin Aiz masih terlalu kecil, tapi dirimu? Dirimu yang seharusnya bisa mengajak Aiz berpikir dewasa." Wahid menambahkan pertanyaan yang sejak tadi dia pendam.

Dia sesungguhnya tidak ingin melakukan hal ini. Namun dia geregat sekali atas kejadian dua laki-laki muda yang terjadi dalam rumahnya.

"Kami enggak ada masalah apa-apa, Om." Kata Zhafir masih menutupi semuanya.

"Pokoknya ibu enggak akan kasih kamu uang jajan selama sebulan!!! Enggak ada naik-naik motor ke kampus. Kamu jalan ke sana. Biar kamu tahu lelahnya cari uang gimana. Dan biar kamu sadar, sudah diberikan Tuhan hidup enak tapi kelakuanmu malah diluar batas." Kata Nada sangat kecewa.

Dia langsung bergegas pulang. Jujur saja Nada sangat malu atas kelakuan putranya sendiri. Apalagi Zhafir melakukan keributan dengan sepupunya sendiri.

"Nada.... " Panggil Kiki mengejar sahabatnya itu.

"Nad. Tunggu." Sengaja Kiki meninggalkan ketiga laki-laki itu menyelesaikan masalah ini. Karena Kiki memiliki urusan penting yang harus dia bicarakan kepada Nada, sahabatnya yang kini sudah menjadi saudaranya.

"Nad...." Tahan Kiki pada tangan Nada. "Tolong tahan amarahmu."

"Gimana aku enggak mau marah, Ki? Ya Tuhan, aku udah besarin dia sebaik yang aku bisa. Aku takut dia akan seperti mas Agam dimasa lalu. Aku takut dia terlibat dalam pergaulan yang tidak benar. Tapi lihat apa yang Zhafir lakuin pada putramu. Dia lebih parah dari mas Agam. Dia menyerang saudaranya sendiri. Ya Tuhan. Dosa apa aku punya anak seperti dia."

Kiki memeluk sahabatnya. Persahabatan mereka yang sudah terjalin sangat lama, sebelum mereka berdua menikah, membuat Kiki paham. Nada tidak ingin Kiki membencinya karena kelakuan putranya itu.

"Sabar, Nad. Tenang. Kita pikirkan semua ini baik-baik. Aku tahu kamu takut. Takut aku menyalahkanmu. Tidak, Nad. Aku tidak akan seperti itu. Aku tahu Zhafir pasti memiliki alasan melakukan hal itu. Maka dari itu ayolah kita cari jalan keluar terbaiknya sama-sama. Nanti ketika Aiz sudah sembuh, aku juga akan bertanya kepadanya. Beri aku waktu sebentar, Nad. Putraku sedang sakit sekarang. Aku tidak ingin memaksanya untuk menjelaskan saat ini."

Keduanya saling menangis sambil berpelukan di depan rumah. Sampai kejadian ini menarik perhatian tetangga depan rumah.

Lila, ibu dari Aneska, mendekat. Dia memerhatikan kedua perempuan yang menjadi sahabatnya ini saling menangis. Rasa penasaran mulai muncul di hatinya. Dia ingin tahu ada masalah apa di antara keduanya.

"Loh... loh, pada kenapa ini? Kok pada nangis?"

Kiki dan Nada langsung menghentikan tangis mereka. Mereka saling menghapus jejak air mata di pipi. Kemudian berusaha tersenyum. Menutupi segala masalah yang terjadi.

"Ada apa? Kalau ada yang perlu dibantu, bisa ngomong atuh. Kayak sama siapa aja." Kata Lila melirik Nada dan Kiki secara bergantian.

Kiki menggeleng pelan. Mencoba menutupi masalah ini. Tapi tidak dengan Nada. Nada malah terus terang menceritakan apa yang terjadi pada putranya.

"Kelakuan anak yang enggak sesuai prediksi. Dia berani pukulin sepupunya sendiri."

"Ah? Yang benar?" tanya Lila sangat tidak percaya. "Lalu bagaimana kondisinya?"

"Alhamdulillah. Enggak kenapa-napa." Jawab Kiki memberikan kode kepada Nada untuk tidak melanjutkan cerita ini.

"Duh, syukur deh. Anak-anak zaman sekarang emang susah banget diatur. Tuh anakku juga. Si Aneska udah kayak bar-bar tadi pagi. Disuruh anterin adiknya ke sekolah aja enggak mau. Malah ngamuk-ngamuk ke adiknya. Apalagi udah 3 hari ini kelakuannya sangat diluar kendali. Pusing saya. Mungkin lagi masa pubernya ya. Tapi emang susah diprediksi kelakuan anak sekarang."

"Iya. Sebagai orangtua memang harus lebih sabar." Kata Kiki menanggapi cerita Lila.

"Ya udah, Ki. Aku pulang dulu. Biarin aja mas Agam yang urus semuanya. Pusing. Mana ninggalin Zyva lagi tidur sendirian di rumah."

"Duluan, Bu." Kata Nada menambahkan ketika pamit kepada Lila.

Kiki terus menggelengkan kepala melihat tingkah Nada yang sejak dulu hingga kini tidak pernah berubah.

"Bu. Memangnya anak ibu ribut karena apa sih? Sampai berani main pukul begitu. Padahal kelihatannya Zhafir anaknya kalem. Terus agamanya bagus banget. Tapi ternyata.... "

"Hust. Jangan bicara begitu, Bu. Saya yakin semua ini pasti ada alasannya. Karena tidak mungkin ada api, tanpa asap sebelumnya."

"Jadi maksud ibu, putra ibu yang mulai?"

Kiki mulai dongkol dengan rasa penasaran dari tetangganya itu. Dia hanya tersenyum, sambil merapal doa dalam hati. Semoga hubungan keduanya hanya akan berakhir sebagai tetangga saja. Tidak lebih.

"Mungkin saja, Bu. Saya belum dengar alasan dari keduanya. Atau mungkin jika bukan karena anak saya, mungkin karena anak ibu. Yang setiap hari selalu jemput anak saya untuk ke sekolah." Jawab Kiki menghubungkan semuanya.

Walaupun dia masih kurang yakin atas kalimatnya. Namun semua itu bisa terjadi. Karena perasaan cinta sering kali membuat luka jika perasaan itu datang pada orang yang salah.

Continue..
Dimana2 ada aja tetangga yang kevoo.. Hahahhaa

If Our Love Was a Fairy TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang