بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Bintang jatuh tidak akan ada tanpa gesekan, gaharu tidak akan wangi jika tidak dibakar, iman tidak akan kuat jika tidak teruji
****
Semilir angin yang berembus entah darimana menjamah sisi tersembunyi belakang tulang rawan telingaku. Detik-detik ini aku hanya dapat berbicara dalam diam. Ingin segera rasanya tidak langsung mengiyakan. Tapi raut wajah mereka, orang-orang yang merenggangkan tangannya saat yang lain malah membuatku tersungkur, menampakkan suarnya. Suar yang memancar disertai pijar yang tak terelakkan. Ya Rabb, izinkan rantaian kata dalam bisu ini dapat nampak di permukaan.
Tapak kaki ini memang terpijak di bumi namun pikiranku jauh berkelana. Satu hal yang membuat ketakutan itu muncul, ia tepat berada di depanku. Pria itu, pria yang selama hampir satu tahun menjadi tamengku, namun masih belum bisa menerbangkan salah satu sayap ini. Kuhela napas perlahan. Kupejamkan mata. Berharap, semua itu hanyalah sebuah delusi dalam logika yang tak terjamah.
Demi Allah, sangat berat semua ini. Pria di depanku inilah yang terlebih dulu berada di sampingku, lalu dikalahkan dengan madu dari sebuah ornamen terindah yang Allah ciptakan. Mengapa sangat sulit berkata tidak? Masih berhatikah aku? Tapi bukannya jauh lebih tak berhati jika menciptakan suatu harap semu baginya?
Di antara dua pilihan yang sudah ku mengerti arah yang akan terjamah dari awal. Lidahku masih sulit mencetak kata. Ya Rabb, berilah hamba petunjuk.
"Cle ... Maafkan sangat mendadak. Bang Tafa tahu ini sangat sulit bagimu, tapi boleh izinkan Abang untuk mengerti arti harapan abang ini Cle? Supaya abang lega," ucap Bang Tafa dengan nada yang semakin membuatku tak bergeming.
Satu tatapan sendu itu makin menusuk-nusuk rasa yang terbelenggu. Maryam pun mencerap begitu arti. Jahatkah aku jika penolakan itu terucap? Akankah aku menjadi kacang yang lupa kulitnya? Ulat yang lupa asalnya sebelum menjadi kupu-kupu? Layang-layang yang lupa benangnya?
"Bolehkah aku shalat istikharah dulu Bang..." kataku pelan. Ya, akhirnya terciptalah suatu harap semu itu. Senyuman mereka terulas, karena kini wanita ini sedang mempertimbangkannya meski hati tak beradu. Wanita ini membuka pintu walaupun jauh dari kata lebar.
"Alhamdulillah, nanti kamu tolong bilang Bang Marcel ya dengan niat Abang," kata Bang Tafa setelahnya. Maryam berhamburan memelukku.
"Semoga keinginanku untuk menjadi saudaramu terwujud Cle," kata Maryam dengan penuh makna yang tersirat dari pelukan ini, aku merasa ia benar-benar tulus. Sungguh jika ia tahu tentang hatiku sebenarnya, akankah hati kapas ini ternoda? Ya Allah.
"Aamiin Yaa Rabb, insya Allah Mar."
Maafkan aku Mar.
***
Sudah tiga hari setelah dua pengakuan pamungkas itu memenuhi alam mimpiku. Selama dua hari pula aku bermimpi Bang Tafa, sisanya justru Pak Ahnaf. Masih terlihat abu-abu untuk saat ini. Mungkin akan jelas tertampak setelah empat puluh kali shalat istikharah.
Pak Udin—ojek daring langgananku telah menunggu dengan motor bebek di depan kos kuning gading. Ia memberikanku helm berlogo ojek daring dengan lekukan berbentuk bulan sabit diwajahnya. Pak Udin menyusuri jalanan Surabaya dengan kecepatan sedang membuat khimar ini mengikuti desau angin, menggulung-gulung sepi, menari-nari dalam kehampaan. Nampak gedung TK Kuncup Bunga hampir terlihat. Kuraih dua lembar uang sepuluh ribu ribu dalam kantong terluar tas punggungku, lalu bersiap-siap untuk turun.
Kuserahkan helm kepada Pak Udin, tak lupa uang kertas itu telah berpindah tangan.
"Masya Allah, ini kok malah dua kali lipat Mbak? Tidak kebanyakan?" kata Pak Udin saat menyerahkan gawainya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Surga [SELESAI]
SpirituellesUpdate setiap hari Senin dan Jum'at . Sejauh apapun burung merpati pergi akan selalu kembali pulang, tetapi pulang merupakan kata terakhir bagiku. Hakikat pulang yang sebenarnya adalah kembali kepada Allah. Jika satu kata rindu membawamu untuk pula...