Bab 28 - Sebuah Rahasia

3.5K 549 55
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Aku tidak akan membuat kalian tersedu kali ini, lebih tepatnya bersyukur. Jika saat ini orang tua kalian masih sehat wal'afiat tolong peluk mereka jangan sakiti hati mereka.

Jika orang tua kalian sedang sakit semoga Allah memberikan kesehatan tanpa menyisakan rasa sakit apapun,

jika salah satu atau kedua orang tua kalian sudah—meninggal... janganlah terputus doa kalian sedetik pun, berikanlah mereka oase dari doa kalian. Selamat membaca.

****

Menjadilah terang disaat redup, menyejuklah disaat lain memanas, merendahlah disaat lain meninggi.

****

Tak henti-hentinya air mata ini lolos membuat parit pipi menjadi muara. Hujan juga semakin menunjukkan dayanya saat rintikan petala langit itu membasahi benda besi yang melaju membelah genangan air untuk satu harap. Selama perjalan Bang Mario hanya menatapku, tanpa menyentuhku, bibirnya terkatup rapat, pandangannya getir, gurat sendu menghiasi wajah tampannya. Di balik punggung kokohnya ada tulang yang remuk akibat kesakitan luar biasa atas kondisi Mama. Aku tahu, sangat tahu, aku taksir tidak hanya sekali ia menahan pilu ini. Mungkin semenjak kepergianku. Entahlah.

Aku ingin memeluknya agar raga ini tidak menjadi berkeping sendirian. Aku juga ingin mengucapkan rindu walaupun tatapannya bak sembilu. Kalian tahu, rasanya jika mendapati sosok malaikat pelindung tiba-tiba tak berdaya? Sakit, sesal, takut, kecewa, menyeruak menjadi satu. Saat mama membutuhkanku, raga ini malah mendekam di balik jeruji, ia berjuang menahan rasa kekecewaan, mati-matian berjuang dengan  sakit yang menggerogotinya. Ya Ilahi, mohon sempatkanlah Hamba melihat mama walau hanya tersisa satu detik.

Bang Mario menderapkan langkah panjangnya menyusuri lorong rumah sakit. Hal pertama yang terlintas saat aroma obat menguar sama dengan aroma kematian. Kudukku berdiri, aku tidak membayangkan bagaimana saat kematian itu datang, apakah saat ini malaikat izrail sedang melihatku? Astaghfirullahal'adzim.

Punggung Bang Mario sudah terlihat mengecil, sangat cepat jangkahannya sampai napasku terengah mengekori. Hatiku semakin pilu tatkala ada suara tangisan yang menggelegar diikuti dengan bangkar di dorong ke ruang jenazah, keluarga pasien itu meronta akan takdir-Nya. Menghentakkan dada mereka berkali-kali. Tubuhku mendadak lemas, bagaimana jika mama tidak terselamatkan? Nyaris saja tubuh ini terhuyung namun tangan kekar Bang Mario meraih tanganku cepat.

"Yang fokus! abang nggak mau kamu nambah nyusahin disini!" kata Bang Mario lalu meninggalkanku.

***

Netraku memindai dua pintu berwarna putih bertuliskan Ruang ICU. Sampai saat ini aku masih belum mengerti apa yang membuat Mama masuk Ruang ICU. Yang jelas pasti parah, apa pasca kepergianku Mama menjadi seperti ini. Dadaku sesak Ya Rabb...

"Nanti kamu langsung masuk aja. Papa ada di dalam, abang tunggu di luar," kata Bang Mario.

"Makasih Bang, sudah mengantarkanku, mengabariku, dan mengjijinkanku kemari," ucapku namun tatapanya masih dingin.

"Sudah cepetan, atau kamu mau buat pikiran abang berubah!" hatiku terenyak. Sebegitu bencinya kah Bang Mario padaku? Namun aku tidak menyalahkan, ia hanya belum tahu. Kuhela napas perlahan sambil berusahan menarik kedua sudut bibir ini.

"Iya Bang, aku yakin, abang nggak mungkin sampai hati mengusirku."

Bang Mario memberi kode jika ia tidak main-main dengan ucapannya. Aku tersenyum getir. Kudorong perlahan pintu hingga terbuka. Setelah memakai baju steril langkahku memelan saat melihat dua orang yang selalu ada dalam doaku sedang tak berdaya. Papa sedang menautkan kedua tangannya, tenggelam dalam seruannya. Tak sekali Papa menangis pilu, mengusap pipi mama, menciumi kening mama.

Mahkota Surga [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang