بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Wanita itu ibarat mahkota yang berkilau bertahtakan kasih sayang dalam dirinya, di telapak wanitalah juga surga itu berada, dari wanita juga jembatan surga terbentuk.
****
Langit kelabu menghiasi sepanjang gerhana matahari cincin di Surabaya. Tidak terlihat seperti bentuk cincin malah terlihat seperti sabit, namun gelapnya jelas terasa saat cahaya langit tidak memasuki celah jendela ruangan serba putih yang penuh dengan selang-selang terpasang. Kesyahduan itu tercipta tatkala sayup-sayup suara Mama menggema. Aku duduk termangu menatap dari balik pembatas kaca, tertatih mama melancarkan lidahnya yang berangsur-angsur lentur mengikuti makhrojul huruf hijaiyah. Dari sorot mata Mama aku menatap satu dari dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, Mama sangat antusias ia dengan mudah menghafalkan sifat-sifat huruf, yang kedua ada gurat kesedihan yang menggenang di pelupuk matanya.
Setelah selesai dari pengurusan surat dan rafak telah dijalani tinggal menunggu waktu wisuda status dan mempersiapkan berbagai macam keperluannya. Memang benar persiapan pernikahan itu membutuhkan ekstra tenaga.
"Assalamualaikum Ma... Miracle mau ketemu sama orang WO. Mama mau Mir undang kesini aja orangnya?"
Mama menggeleng, "Waalaikumsalam...Tidak usah Mir, ini pernikahanmu kan. Yang jelas Mama sudah bahagia jika kamu dapat menikah dengan Ahnaf. Tapi mama cuma request, ada bunga lily di sana seperti altar... ah maaf Sayang, kok altar ya! Aduh... Terserah kamu saja deh."
"Insya Allah Ma... nanti Mir bakal bilang WOnya. Ahh WO manapun bakal kalah sama intuisi dekorasi Mama. Mir nggak bakalan bikin ruangan ini kayak rumah sakit."
Mama tersenyum, "Hahaha kamu ini lebaynya nurun Papa deh ya...."
Mendadak tenggorokanku tercekat, kulihat lagi tatapan Mama berubah sendu.
"Maaf Sayang... hmmm tolong dengerin hafalan sholatnya Mama lagi ya...." kata Mama mengalihkan.
"Iya Ma, insya Allah. Oh iya nanti Ustadzah Nurul datang Ma, atau bisa juga setor hafalan sama Ustadzah, biar mama makin fasih hafalan sholatnya Ma..."
Mama mengangguk sambil memegang buku iqro' dan tuntunan salat di tangannya. Gawaiku bergetar, satu kontak yang sejak kapan berubah menjadi "Casua" aku berdecak pelan, pasti ulah Maryam!
Saat akan keluar sebentar untuk menerima menelepon Pak Ahnaf, aku mendapati Papa sedang melihat kami di balik pintu kaca. Lalu Papa seperti hendak pergi.
"Ma, Miracle mau keluar sebentar ya, mau nerima telp Mas Ahnaf, sinyalnya susah. Nanti habis ini Mir dengerin hafalannya Mama deh..."
Mama mengangguk. Setelah pintu terbuka aku menoleh kanan kiri, aku mendapati punggung Papa hampir menjauh namun kutahan dengan satu tangan.
"Pa.... jangan menghindar..., Mama—rindu Papa... pun Miracle..."
Papa menghentikan langkahnya. Papa mencerapku, lalu bersandar dan akhirnya terduduk di kursi besi.
"Miracle jadi menikah di sini Pa, lusa..."
"Papa nanti datang kan? Sama Mama juga..."
Papa tak menghiraukanku dan hendak beranjak namun segera kutarik lagi tangannya.
"Pap, jika Papa masih membenciku nggak apa-apa tapi Mir mohon, jangan pernah membenci Mama, apalagi menyalahkan Mama atas pilihannya. Tetaplah di sisi Mama selalu Pa, seperti langit pagi yang membutuhkan matahari. Seperti tubuh ini membutuhkan oksigen untuk bernapas. Seperti rembulan yang butuh malam, seperti rindu yang tidak pernah memiliki alasan. Kalau Papa ingin menyalahkan keadaan, salahkan saja Mir! Tapi jangan pernah menyalahkan Allah, menyalahkan Tuhan. Tidakkah hal itu salah dari semua agama Pa? setitik saja kita tidak patut menyalahkan Allah, Tuhan kita. Mir mohon Pa.... jangan membuat Mama semakin sedih... She need us now..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Surga [SELESAI]
SpirituellesUpdate setiap hari Senin dan Jum'at . Sejauh apapun burung merpati pergi akan selalu kembali pulang, tetapi pulang merupakan kata terakhir bagiku. Hakikat pulang yang sebenarnya adalah kembali kepada Allah. Jika satu kata rindu membawamu untuk pula...