Bab 6 - Se-sak

3.8K 594 49
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Rindu itu sesak.

***

Jantungku seakan berhenti berdetak. Papa dan Mama keluar dari mobil melihatku tak kalah kaget. Netra kami bersirobok sepersekian detik, namun mereka membuang tatapan kearah lain. Hatiku tertampar hingga ke jurang nestapa. Setelah tujuh purnama menahan rindu yang begitu menghasut, saat ini ragaku hanya dapat melihat keduanya menghempaskan rindu ini sejatuh-jatuhnya. Masih tersirat raut kecewa di wajah mereka.

Tubuhku bergetar hebat, terseok-seok sudah lubang rindu yang telah tertambal. Jika saja ada tongkat yang dapat menopang, tidak akan cukup membuatku berjalan tegak. Derau tangis dalam diam terus mempupuk lara di pelupuk mata. Ya, Allah kuatkan hamba dengan tiang tauhidmu. Sampaikan rindu hamba lewat hembusan nafas ini Ya Allah, hamba mohon.

Dengan sengaja mama dan papa tidak mengenaliku. Sungguh detik ini rasanya hatiku ingin memeluk mama dan papa. Namun...aku bukan anaknya lagi.

"Silahkan Pa—Pak Marcus dan Bu Elleanor, mari mejanya di sebelah sana," kataku dengan suara bergetar. Setiap aksara yang terucap rasanya lebih berat terhunjam daripada saat ku melihat ayah Izza dan Ibunya tadi. Rindu yang selalu kusampaikan dalam untaian munajat setiap sujudku, setiap tanganku mengadah ke langit seakan hanya kamuflase nol. Tanpa melihatku mereka hanya mengangguk dan berjalan di belakangku. Kuatur denyut arteri agar cepat sampai ke otak, benar adanya rindu itu—sesak .

Setelah menganyunkan langkah kaki yang tertumpu ribuan ton rindu, sampailah pada meja bulat bersebelahan dengan Ayah Izza dan Ibu Izza. Dengan sisa tenaga seadanya, jari-jemari begetar, serta peluh-peluh yang telah membasahi khimar, Alhamdulillah kursi telah berhasil terseret mundur.

"Silakan Ma—Bu Elleanor, semoga menikmati acaranya."

"Terima Kasih."

Bulir-bulir di sudut mataku tak dapat terbendung lagi, setitik telah terjun bebas, sudah cukup menahannya dalam diam, aku ingin berlari memeluknya. Tiap dentuman aksara yang terucap dari bibir mama membuatku kembali ke masa itu.

"Mama, miracle sayaaang banget sama Mama," kataku memeluk sembari memeluk mama yang sedang duduk di halaman belakang depan kolam renang.

"Mama juga sayang kamu. Mama sangat bersyukur melahirkanmu Miracle. Tuhan memberikan anugerah terindah dengan kelahiranmu saat badai itu. Hadirmu memberikan warna pelangi di kehidupan mama dan papa. Buah cinta dari Maha Agung yang berwujud dirimu. Oleh karena itu tetap menjadi Miracle bagi kami ya sayang. Karena saat mama terpuruk lalu melihatmu ada rasa damai di hati mama. Kamu penguat mama Miracle."

Semakin erat pelukanku kepada mama, aroma flowerynya sangat membekas. Papa mengusap pucuk rambutku dan ikut berpelukan bersama.

"Jika mama ditanya apakah ada kata yang dapat melukiskan betapa bahagianya mama memilikimu sayang, jawabannya tidak akan ada. Karena saat tangismu pecah tidak ada kata yang lebih baik dari kata syukur, seketika itu mama tahu bahwa Tuhan baik. Tuhan menghadirkanmu untuk menolong mama yang telah jatuh tersungkur. Kamu adalah cahaya penerang mama Miracle."

Aku menyeka kedua air mata mama. Mama berjuang saat melahirkanku dulu akibat riwayat penyakit sesak yang tak dapat melahirkan normal. Tapi karena kuasa ilahi, tanpa sayatan aku dapat keluar dengan sehat. Awalnya tangisku sempat pecah, namun denyutku tak bertahan lama. Tubuh mungilku berubah biru dan kaku. Mama tersungkur lagi, menghunjam siapa saja yang di ruangan itu dengan kasar. Mencabik-cabik kemeja papa, menyalahkan Tuhan yang mengambilku saat itu.

Mahkota Surga [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang