بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Air langit turun membasahi bumi, harusnya terasa sejuk, tetapi malah peluh yang bercucuran. Kuperiksa lagi tepat di hati, ternyata telah terbakar oleh dosa.
****
Keramahan senja nan epik berubah menjadi kelabu beserta air langit yang turun. Sudah tidak tahu berapa lama aku meringkuk di atas kasur berbalut sprei bercorak bunga. Membulirkan kayu-kayu kecil sembari menampung titik-titik air yang membasahi sudut bantalku. Lantunan istighfar membuat batin ini makin tersungkur. Kata teguh yang terucap tak seperti kenyataannya. Aku masih saja merangkak dalam perjalanan ini.
Suara gedoran pintu membuat kepalaku mendongak. Semakin keras menggema tanpa ada niat untuk bangkit. Dentingan nada panggil ikut meramaikan ruangan kecil ini. Mungkin sudah puluhan kali gawaiku berkedip dengan foto kontak yang sama. Sunyi, hatiku sunyi.
Ada saatnya hati ini ingin sendiri, bermunajat kepada Sang Khalik. Namun aku hanyalah manusia biasa, yang ingin bersandar. Wanita di balik pintu itu tidaklah salah. Hatiku yang salah membuatnya lelah menunggu. Membuatnya berlari satu demi satu anak tangga untuk satu kata empat suku kata, menemuiku.
Pintu tak lagi bergetar, suaranya melemah. Diiringi suara adzan yang membuatku bangkit. Gagang pintu terasa sangat dingin seperti tubuh wanita berkhimar maroon yang langsung berhamburan memelukku. Ia tergugu. Aku pun tergugu dalam tangan yang membalas pelukannya.
"Astaghfirullaha'adzim Cle, kamu tuh kemana aja? Aku dari tadi nyariin...Aku cari di hotel, katanya kamu nggak masuk. Terus aku udah nelpon kamu berkali-kali kamu nggak jawab-jawab, kamu kenapa Cle? Sakit? Ya Allah pucet banget, dan kamu tahu—nggak hanya aku yang khawatir, semua orang rumah! Tadi juga aku di anter Bang Tafa, Bang Tafa sekarang masih nunggu di bawah Cle tapi mungkin sekarang udah di masjid," kata Maryam sembari memindaiku, menyentuh dahiku, memelukku berulang-ulang. Aku menatapnya sendu.
"Aku nggak kenapa-kenapa Mar, ayuk kita sholat dulu," kataku menginterupsinya sembari menarik sudut-sudut bibirku.
Maryam menghela napas. Ia memegang tanganku lalu berkata, "Iya Cle, tapi selepas sholat aku sudah siap menjadi tempatmu bercerita, aku sangat tahu Cle. Kamu—sedang tidak baik-baik saja."
"Insya Allah Mar, aku wudhu dulu ya," kataku dengan suara lirih.
***
Selepas sholat maghrib yang diimami oleh Maryam, kami telah duduk diatas kasur sembari tetap membulirkan manik kayu untuk bertasbih. Maryam menatapku sendu.
"Cle, mau kah kamu membagi keluhmu?" tanya Maryam sembari mengusap punggung tanganku. Nampak pancaran tulus yang tersirat dari maniknya.
"Tenang Cle, Bang Tafa sudah aku kabarin, biar nggak nunggu," kata Maryam seperti tahu yang ada dipikiranku. Aku menyandarkan punggungku pada bantal yang sudah berdiri tegak. Aku masih saja tak bergeming.
"Dapatkah aku menebaknya? Kamu baru saja bertemu dengan keluargamu ya. Lebih tepatnya...Mamamu?" tanya Maryam. Aku mengangguk. Maryam sangat tahu jika hatiku mendadak lemah jika bertemu dengan keluargaku.
Helaan napas panjang awal mula ku berbagi cerita dengan Maryam. Ia mendengarkanku tak bergeming, tanpa menepis apapun. Ia hanya manggut-manggut. Sesekali ia mengusap punggungku saat air mata ini terjun bebas.
"Lalu aku harus bagaimana Mar? agar hati ini lebih kuat. Aku sangat rindu Mar, bahkan hatiku senang saat melihat mereka walaupun hanya sebatas punggungnya saja," kataku sembari mengusap pipi yang telah basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahkota Surga [SELESAI]
SpiritualUpdate setiap hari Senin dan Jum'at . Sejauh apapun burung merpati pergi akan selalu kembali pulang, tetapi pulang merupakan kata terakhir bagiku. Hakikat pulang yang sebenarnya adalah kembali kepada Allah. Jika satu kata rindu membawamu untuk pula...