Bab 29 - Penafsiran Hati

3.8K 576 83
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Terkadang manusia suka menafsirkan keadaan karena pernyataan, bukan karena kenyataan itu sendiri.

*****
"Bang! kita lewat tangga aja yuk, lebih sehat!" lalu menarik kedua tangan abangku.

Bang Marcel langsung menahan, ia seperti mengerti jika urat nadiku lemas, tegang, tercekat entahlah. Yang jelas tubuh ini gemetar, peluh bercucuran tak tanggung-tanggung. Pak Ahnaf juga nampak kikuk, ia menyapa Bang Marcel canggung. Kantong kresek di tangan kirinya pun terkoyak seakan tubuhnya juga gemetar. Netra kami bersirobok namun ia cepat melihat ke arah lain.

Bang Mario membuka suara, "Kalo Mir maunya naik tangga ayo!" kata Bang Mario menyelamatkanku dari awkward momen itu. Bang Mario menggenggam tanganku erat. Namun Bang Marcel tetap memilih naik lift bersama Pak Ahnaf.

Aku mengelus dadaku yang bergemuruh, detak ini membuat jantung nyaris copot. Dentuman yang selalu membuat batin ini tersiksa. Senyumnya, Astagfirullah! Apa lamaran itu tak berarti baginya? mengapa ia hanya menatapku tanpa berkata apapun? Bahkan ia hanya menyapa Bang Marcel? Sakit Ya Rabb hati ini, apa aku sudah terjangkit Al-Isyq? Naudzubillahmindzalik, astaghfirullah. Jika dia memang bukan yang terbaik Allah pasti akan mengenyahkan, memberi petunjuk secara kontan dan mungkin terjadi saat ini.

Namun tak menyangkal jika hati ini kecewa, seperti busur panah yang bukan lagi menancap ke hati, tetapi ke otak. Otakku terisi penuh dengan sekali tatapnya.

Bang Mario masih saja tidak berkomentar apapun. Ia malah sibuk menangkap air hujan saat menyusuri lorong. Akibat penghindaran itu membuat kami memutar ke arah tangga yang terletak di ujung lorong.

"Mir... kamu inget nggak, hujan adalah hadiah dari langit saat ada yang sedih," kata Bang Mario. Aku mengikuti Bang Mario yang sedang mengadah air hujan dengan satu tangan.

"Seperti kamu, semesta lagi nggak ingin kamu sedih Mir, apa karena lelaki itu?" selidik Bang Mario membuat langkah ini terhenti.

"Inget Bang, tapi sudut pandangku tentang hujan sekarang lebih ke Allah yang mengutus malaikat mikail memberikan rejeki lewat hujan. Saat hujan turun lalu kita berdoa kepada Allah momentum inilah doa kita di ijabah ehmm maksudku di dengar sama Allah, tapi aku lagi nggak sedih kok Bang!" kataku sambil mendahuluinya dan memaksa menarik sudut-sudut bibirku.

"Tidak perlu berbohong Mir, kamu aktris yang buruk," kata Bang Mario mengusap tangannya dengan sapu tangan kodok keropi. Ternyata abangku ini juga masih menyimpannya! Tapi memang saat berbohong dengan makhluk yang keluar pada rahim yang sama itu susah.

"Hahah ya jelas, Miracle bukan Maudy Ayunda Bang! Ya kali Miracle harus googling cara menjadi Maudy Ayunda kan nggak lucu!" kataku mempercepat langkah menuju anak tangga yang sudah terlihat.

"Memang kalian pernah bertemu dan berbicara secara langsung lagi? Atau sekedar mengucapkan salam?" kata Bang Mario hendak meneguk air mineral dengan sedotan.

Langkahku terhenti di anak tangga kedua. Badanku gemetar, aku menggeleng. Aku memang menghindar, memilih untuk . Nyaliku menciut bahkan tak sanggup bertanya sepatah kata kepada Maryam. Apalagi setelah kejadian bersama Izza. Mungkin sekarang gawaiku penuh dengan pesannya.

"Jangan terlalu berhipotesis, liat sekelilingmu. Kamu tidak bisa melihat hanya dengan mata kepala saja, ada sudut pandang lain yang harus kamu lihat. Seperti halnya ini," Bang Mario mengangkat botol air mineral dengan sedotan yang airnya tinggal separuh.

"Pembiasan itu menampakkan jika sedotan ini patah, padahal sebenarnya lurus dan baik-baik saja. Percuma kalau kamu tidak mengangkatnya, selamanya sedotan itu akan tetap patah. Bukan begitu Miracle? Seringkali harus mencari semua pertanyaan dari sumbernya untuk mendapatkan kebenaran.

Mahkota Surga [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang