Bab 17 - Mimpi Buruk

3.2K 472 60
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Dan mengapa kami tidak akan bertawakal kepada Allah, sedangkan Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh, akan tetap bersabar terhadap gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang yang bertawakal berserah diri."
(QS. Ibrahim 14: Ayat 12)

***

Netraku mengerjap lemah, menatap langit-langit berwarna kuning gading. Suara desau kipas angin bekerja mendominasi ruangan kecil ini. Napasku masih terengah-engah seperti habis berlari marathon. Ku lirik jam dinding berwarna bulat, garis merah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Tangan ini sibuk memijit pelipis yang berdenyut sakit, meneguk perlahan botol plastik tup**wa*re berwarna salmon. Lalu sekejap air putih ini tercekat dalam tenggorokan. Apakah tadi hanya delusi? It just a vision right? Apakah aku masih guru TK Kuncup Bunga? Mengapa aku terbangun di kos? Astaghfirullahal'adzim.

Beribu pertanyaan mendera nyawaku yang masih belum sempurna. Netra ini tertuju pada tubuhku telah berbalut piyama bermotif bunga. Sontak tanganku segera meraih tas punggung yang berada di atas meja. Jika memang hanya sebuah delusi belaka, pasti amplop coklat yang berisikan foto murid-muridku tidak pernah ada.

Tanganku sibuk mengacak tas yang penuh dengan berbagai macam buku mata panduan mengajar dan binder berwarna salem. Hatiku berdetak tak karuan. Semakin membuncah rasa penasaranku dengan apa yang terjadi. Ku muntahkan semua isi yang berada dalam tas. Barang-barang berjatuhan namun, nihil!

Netraku tak menangkap satupun benda berbentuk amplop coklat yang diberikan Mas Gilang padaku! Jadi ini semua hanya mimpi? Benarkah? Alhamdulillah. Ku hela napas panjang sembari menyenderkan punggungku pada bantal yang telah berdiri tegak. Tapi mengapa kepalaku pening sekali?

Kuputuskan untuk berwudu, membangunkan sel-sel keimanan yang tertidur. Bersujud sedalam-dalamnya, bersyukur jika semua itu hanyalah mimpi buruk.

***

Mendung mulai bergulung-gulung, langit berselimutkan awan. Gerimis sepi menjadi deras. Begitupun air mataku yang deras saat mencium sajadah. Lidah ini merapalkan doa saat hujan turun, allahumma shoyyiban nafi'an. Hatiku berdesir saat Allah menunjukkan kuasanya lewat air langit penuh berkah. Memberi rezeki bagi makhluk yang merindukannya. Salah satunya... aku.

Setelah cukup lama bermesraan dengan Allah, hatiku menjadi lebih tenang. Ku raih gawai yang berkedip meminta daya dan akhirnya layar berubah menjadi gelap bergambar apel, sungguh kebiasaan tidak baik membuat gawai selalu kehabisan daya! Padahal hendak melihat jadwal besok waktunya pelajaran menggambar bagi siswa-siswi mawar b bertema tentang apa. Mungkin tema tentang binatang lebih baik. Ah, rasanya aku semakin tidak sabar bercengkrama dengan tangan-tangan mungil itu menggambar sesuka hati mereka.

Hampir saja aku melupakan sesuatu, ada kuisioner yang harus terisi dengan bulat-bulat hitam di dalam map. Jika tidak, besok Pak Dibyo akan mengeluarkan kuasanya untuk tidak meluluskanku dalam mata kuliahnya...be careful, sangat mengancam beasiswa Miracle! Jangan lupa lagi ya... Aku terkikik geli, terlalu berlebihan, jika ada Maryam di sampingku pasti ia akan mengomel.

Kuraih map yang berada di atas meja, tanganku sibuk mengambil tumpukan kertas yang ada disana sampai salah satu benda terjatuh. Kuisioner telah berada di tanganku, namun netraku menuju ke benda yang berada di atas kaki. Netraku membulat sempurna, sekejap kakiku lemas tubuhku kaku. Berusaha meraih amplop coklat itu dengan tangan bergetar, air mataku berderai.

Jadi semua itu bukan mimpi? Nyata sebenar-benarnya nyata? Lalu siapa yang membawaku ke kos? Beribu pertanyaan menderaku-lagi.

****

Mahkota Surga [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang