Menghamba Luka
//Ia menghamba pada luka. Tak mengizinkan waktu untuk menyembuhkan lukanya yang menganga. Setiap harinya adalah hari
yang sama. Sepanjang tahun. Luka dan air mata yang sama; tak pernah berubah. Ia merasa seluruh tubuhnya mengeluarkan darah. Terpaksa terperas. Terus menerus.
/
Air mata terus menitih setiap harinya. Dengan sebab yang sama. Lalu ia membasuh pisau yang digunakan kekasihnya untuk melubangi hatinya.
Memberinya duka. Menanamkan luka. Darahnya yang melekat pada pisau mengering. Lalu hari berikutnya; kembali basah dengan darah yang sama. Darahnya sendiri.
/
Seumpama bunga. Luka itu tumbuh subur dalam hatinya. Akar-akarnya merambat cepat ke seluruh rongga hatinya. Sesak dan pengap. Memenuhi hatinya. Sementara dahan-dahan luka semakin cepat berkembang dan bercabang. Lalu bunga tumbuh dengan warna merah merona. Rona darah. Setiap hari, kekasihnya selalu menyirami dengan air mata. Hingga mekar. Berbunga dengan lembap beraroma darah.
/
Ia sudah tak tau lagi warna langit. Tak bisa melihat matahari. Tak lagi melihat cahaya. Langit yang ia tatap selalu sama; gelap. Cahaya yang ia lihat tak berubah. Setiap harinya, siang dan malam. Terus-menerus
berwarna hitam. Sebenarnya ia bisa melihat semua warna, juga cahaya. Namun ia menolak itu semua. Memilih menjadi buta.
/
Ia memaksa untuk tetap tinggal di dalam Lorong yang dibangun dengan rasa sakit. Menepis uluran tangan yang ingin membawanya keluar dari rasa sakit. Menutup telinga untuk seruan yang mengajaknya meninggalkan Lorong. Melihat warna. Melihat cahaya. Merasakan
Bahagia.
/
Ia tak pernah tidur. Matanya tak bisa terpejam. Tak lagi merapalkan doa-doa ke langit. Ia hanya menghamba pada luka. Ia hanya mencintai gelap. Sampai pada akhirnya; mati. Mendahului hari kematiannya sendiri.
//***